Semua kehidupan di rimba raya terhenti. Kecepatan dikurangi. Bus-bus bertingkat berhenti. Sepeda-sepeda motor mengurangi putaran mesin. Rem ditekan sempurna. Puluhan muka berpeluh, tak melirik satu sama lain. Acuh. Masing-masing sibuk dengan pikiran-pikiran sendiri-sendiri. Beberapa orang mengeluh, menyumpahi lajunya waktu yang begitu lambat.
Tik.. tok.. tik.. tok..
Putaran jarum jam di tugu Sudirman terasa diperlambat, entah oleh siapa, seolah tersenyum sinis pada muka-muka durjana pengendara yang diperdaya waktu. Semua serba buru-buru. Beberapa detik lagi…
***
Mati gue! Bisik perempuan muda di balik kemudi Jazz. Arisan sudah dimuali 15 menit lalu. Itu artinya aku akan terlambat untuk memperlihatkan kalung berlianku pada suz Neny. Traffic light brengsek! Umpatnya dalam hati.
Memangnya kau saja, umpat pria tambun di belakang Limosin, beberapa jengkal dari Jazz. Tangannya sibuk membuka-tutup key pad ponsel layar gesernya. Sesekali bersendawa. Dia pikir betapa marah istrinya kalau tahu hari ini dia tak benar-benar pergi meeting seperti yang dikatakannya lewat telepon tadi pagi. Tapi dia tak perduli, service plus-plus perempuan muda di hotel barusan membuatnya sangat senang, dan itu lebih dari cukup untuk menawar omelan si nyonya besar berbadan lebar, istrinya, nanti di rumah.
Tit! Tit!
Klakson bersahut-sahutan tak sabaran. Peluh berhamburan. Masing-masing mengumpat dalam hati. Emisi membuat napas sesak. Ada lima orang di sudut angkot yang mengibas-ngibaskan tangan di depan muka, berharap sedikit sejuk mau singgah menyapa peluh. Tak mungkin. Tarif jauh-dekat 2000 rupiah tak memungkinkan angkot reot seperti itu memasang air conditioner. Kenapa tak naik bus saja?
***
Didalam bus.
Seorang laki-laki muda tersenyum, seperti senyuman perempuan muda di depannya. Mulutnya mengunyah permen karet. Tapi ia rasa perempuan itu tertarik padanya; berambut hitam panjang, dengan pakaian kemeja kancing semi terbuka leher jenis V, rias wajah minimalis dan sehelai salt yang melingkar, melambai-lambai ditiup angin dari sisi jendela bus yang terbuka sedikit.
Rem masih ditekan sempurna. Para pengendara mulai berharap-harap cemas. Sedikit lagi, bisik nona muda di balik kemudi Jazz. Pasti suz Neny akan iri setengah mati. Tanpa sadar sang nyonya muda tersenyum. Ayolah, traffic light payah! umpatnya.
Sial, umpat tukang sayur di belakang bus. Mentang-mentang besar seenaknya saja buang asap dimuka orang. Sopir bus tak perduli. Alunan Bob Marley dari stereo car system begitu menghipnotisnya. Ini tanggal muda, batinnya. Tanggal gajian. Sepulang kerja nanti akan dibelikannya si buyung dan istrinya makanan enak; ice cream, donat, pizza dan beberapa botol cola. Bob Marley masih mengalun… no women no cry…
Didalam Limo
Iya, sayang. Pesanlah kamar ter-delux. Soal tarif jangan khawatir… oya? Pasti. Belilah beberapa lagi. Kalau tak cukup, kamu bisa ambil berapa saja. Ah…. Oke. Nanti papi hubungi…
Men-dial nomor lain: Mi, macet nih. Kenapa mami tidak pergi sendiri saja sih? Kan ada supir kalau mami malas bawa mobil.
Suara di seberang: Nggak bisa, Pi. Jeng Susi hari ini bawa barang baru dari Italy. Pasti bagus. Pokoknya Papi harus ikut dan memilihkan satu untuk mami. Sudah, Pi. Cepat!
Didalam bus.
Bahkan perempuan muda itu masih tersenyum padanya. Tunggu, bisakah kamu ikut memasatikan perempuan muda itu tertarik padaku, benaknya. Kalau bukan demi alasan itu, lantas kenapa ia tersenyum padaku. Oh tidak! Ia segera mengalihkan pikirannya pada perempuan yang tersenyum itu. Ia ingin kembali pada debaran di dadanya, menunggu beberapa ruas jalan lagi, dimana ia kan turun dan dua mahluk kemudian akan menyambutnya dengan hangat. Itu istri dan anak pertama mereka.
***
Tik.. tok.. tik.. tok..
Masih harap-harap cemas. Masing-masing kaki dan tangan siap menekan gas masing-masing. Sebentar lagi. Setiap kepala mulai menyadari betapa pentingnya waktu. Astaga, pria berdasi di atas motor Vespa itu mulai melirik-lirik jam tangannya, satu tiga puluh. Janji dengan klien tepat jam dua. Masih ada waktu setengah jam lagi. Dibengkokkannya kaca spion, menarik sisir dari saku belakang, dan dia mulai melihat dirinya di dalamnya, sangat tampan, bisiknya pada diri sendiri.
Tit! Tot! Tut!
Klakson-klakson mulai terdengar hilang kesabaran. Ujung-ujung jari mulai dimainkan tak sabaran. Pedal-pedal gas mulai ditekan sempurna. Mesin-mesin meraung-raung. RPM berputar pada angka tinggi. Asap hitam, emisi, dimana-mana. Menyebar. Sesak. Lima orang lagi di sudut angkot bermandi peluh. Masing-masing mengumpat dalam hati. Yang lain melirik jam tangan masing-masing, cemas kalau-kalau benda berjarum tiga itu tak berfungsi sempurna.
Beberapa detik lagi…
***
Sebuah guncangan di paha membangunkanku. Anak kecil berambut gimbal, dekil, menenteng sebuah kaleng bekas dan sejelai lap kecil di tangan lainnya, mengangguk memaksaku untuk mengikutinya dari belakang. Seharusnya saya memang tidak tidur pada jam kerja sibuk seperti itu. Si gimbal bilang itu tidak profesional. Kami pekerja handal. Harus tepat waktu. Pekerjaan kami adalah membersihkan kaca-kaca mobil mewah kami yang tak terhitung jumlahnya. Beberapa menit lalu Soluna, kemudian Karimun, dan menit ini sebuah Jazz dan Limosin.
Ramai-ramai, serentak, kaki-kaki dan tangan-tangan menekan-injak pedal gas. Serentak mesin meraung-raung. Kembali siaga. Kemudi-kemudi di putar. Klakson bersahut-sahutan. Siang berpeluh. Waktu terasa sangat cepat, padahal baru sekejap aku memejamkan mata.
"Dasar pemalas", ejek si rambut gimbal. "Tak apa," jawabku, "sebentar lagi kita akan punya mobil baru".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H