TAWAAN YANG MENYAKITKAN DAN MENYADARKAN: SEBUAH PERJUANGAN MENUJU PENCAPAIAN
(Oleh: Wahyu Saripudin)
Jika menggunakan logika matematika manusia, rasanya saya tidak mungkin dapat menulis dalam kesempatan ini bersama ratusan orang-orang hebat awardee lpdp. Jangankan untuk bisa lanjut s2, untuk menyelesaikan s1 pun, saya harus berjuang keras dapat memenuhi biaya perkuliahan. Namun, karena Allah maha kaya dan selalu memberikan jalan kepada hambanya yang memiliki kemauan, akhirnya sampai saat ini saya bisa terus berjuang menggapai mimpi yang pernah saya tuliskan dalam catatan harian saya.
Saya memiliki mimpi untuk dapat berkuliah di Negara Uncle Sam, tepatnya ingin sekali berkuliah di Harvard University. Mungkin karena terpengaruh membaca biografi orang-orang besar dunia jebolan kampus ternama itu. Namun, bagaikan jauh menengadah ke langit, mimpi itu adalah mimpi yang sangatlah tinggi bagi saya. Namun saya meyakini, dengan mimpi besar lah kita akan terdorong untuk terus berjuang memantaskan diri.
Perkuliahan s1 telah selesai. Teman-teman saya ada yang langsung melanjutkan s2, ada yang bekerja, yang nikah pun gak kalah banyak, untuk teman-taman perempuannya. Berbeda dengan mereka, saya memilih untuk tidak melanjutkan s2 terlebih dahulu karena secara hitungan matematis saya maupun orang tua saya tidak akan mampu membiayai perkuliaan untuk s2 ini. Jangankan s2, s1 pun saya harus banting tulang supaya dapat memenuhi kebutuhan perkuliahan. Bahkan, untuk dapat "bertahan hidup" saya tidak malu untuk berjualan "seblak suhah" (kerupuk pedas) di kelas bahkan keliling kelas di Gd W UIN SGD. Namun, tentunya Tuhan maha melihat dan mendengar hambanya yang berjuang dalam pendidikan. Di Akhir perkuliahan, saya menjuarai perlombaan tingkat Nasional antar perguruan Tinggi Negeri Islam, dan tentunya saya mendapatkan beasiswa yang lumayan bisa memenuhi kebutuhan saya selama tiga bulan kedepan.
Setelah Wisuda saya memutuskan untuk berangkat ke kampung Inggris dengan modal beasiswa itu. Motivasi saya untuk belajar bahasa Inggris begitu tinggi. Salah satu Motivasinya adalah tantangan salah satu Dosen di UIN SGD Bandung. Beliau selalu memotivasi namun dengan cara yang unik. Yaitu menantang dan sedikit "menyepelekan" kita, tentunya untuk memotivasi. Beliau sangat concern untuk membina mahasiswa-mahasiswa yang punya keinginan. Seperti kita ketahui bahwa dalam menata batu bata kehidupan ini kita butuh "guru" yang mengarahkan kita. Selain itu, motivasi terbesarnya adalah tawaan semua audiens disaat pelatihan mahasiswa diakhir perkuliahan. Saya disuruh membaca teks berbahasa inggris oleh instruktur. Dengan pronunciation yang blepotan, semua orang yang ada di Aula mentertawakan saya. Malunya itu tidak kepalang ditambah di sana hadir “someone special” yang ikut mentertawakan juga. Berhari-hari terus terbayang bagaimana malunya diri ini ditertawakan dihadapan semua orang. Namun, rasa malu ini lah yang menjadi cambuk menyakitkan bagi saya untuk bangkit dan memperbaiki diri.
Perjuangan di Kampung Inggris pare
Saya beranggapan bahwa orang yang belajar di sana tiga bulan akan langsung sakti bisa cas-cis-cus ngomong inggris kaya bule. Namun, saya salah dugaan. Butuh waktu dan perjuangan yang begitu panjang untuk bisa itu. Dari tadinya hanya berencana tiga bulan, namun saya masih dirundung rasa malu karena saya masih belum bisa apa-apa. Dulu saya malah belajar gammar saja selama tiga bulan itu. Tentu saja, kemampuan speaking saya tidak improve secara signifikan. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk tetap tinggal di sana beberapa bulan lagi.
Disaat itu keuangan sudah mulai sangat menipis. Berbagai cara saya lakukan, dari mulai strategi puasa daud sampai berburu “tahlil” untuk bisa bertahan hidup di sana. Jerih payah untuk terus berjuang belajar bahasa Inggris. Hasilnya mulai nampak, tapi bukan hasil berbahasanya, hasil jerih payah untuk “irit” tubuh mulai nampak “kerempeng”. Ya, sekitar satu bulan setengah kurang lebih masa krisis prekonomian di tempat belajar. Namun, saya yakin Allah tidak akan membiarkan orang yang sedang belajar tidak mendapatkan keberkahannya.
Akhirnya, saya pun mendapatkan beasiswa dari Kementrian Agama untuk alumni PTKAI untuk pembinaan bahasa. Kehidupan sudah mulai membaik, krisis prekonomian sudah teratasi, dan saya pun dapat bertahan hidup lebih lama lagi di kampung Inggris Pare tercinta ini. Delapan bulan sudah saya berada di kampung Inggris Pare, sedikit demi sedikit kepercayaan diri dan kemampuan speaking saya sudah mulai membaik. Selanjutnya, saya memutuskan untuk pulang. Dengan rasa percaya diri, saya bisa cas-cis-cus ngomong bahasa Inggris, termasuk saya temui instruktur yang mempermalukan saya didepan semua orang. Eit, bukan untuk apa-apa, saya ingin mengucapkan terimakasih karena telah menyadarkan dari kebodohan yang saya miliki. Setelah bertemu, dia pun merasa bangga dengan perubahan pada diri saya. Selama perjumpaannya itu, kami berbicara panjang lebar sampai akhirnya dia mennginformasikan mengenai beasiswa yang luar biasa ini, beasiswa LPDP. Saya disuruh mempelajari semua persyaratan yang ada. Tiba pada persyaratan bahasa Inggiris, bahwa pendaftar disyaratkan memiliki kemampuan bahasa inggris yang dibuktikan dengan Toefl, score 500 untuk di dalam negeri dan 550 untuk di luar negeri.
Singkat cerita, saya pun langsung mengikuti Tes Toefl ITP. Dengan rasa percaya diri, saya yakin dapat mencapai score 550 itu. Ternyata dan ternyata, belajar grammar hampir 6 bulan dan speaking 2 bulan tidak berpengaruh signifikan untuk mendapatkan score itu. Jangankan untuk keluar negeri yang dalam negeri pun belum terpenuhi. Kemampuan listening yang sangat rendah membuat score total nya ikut anjlok. Rasa kecewa pada diri ini terus menghantui, namun apa daya inilah kemampuan ku. Tapi setidaknya, ini menjadi ukuran buat saya bahwa saya masih belum memiliki kemampuan standar dalam bahasa inggris. Akhirnya, saya memutuskan untuk kembali ke kampung inggris lagi dan menggenapkan lama tinggal di sana menjadi 9 bulan. Seperti bayi dalam kandungan bukan?hehe. di sesi ini, saya fokus mengambil kelas toefl.
Setelah sebulan lamanya belajar toefl, saya memberanikan diri untuk tes kembali. Hasilnya, lumayan ada perbaikan. Namun masih tetap belum cukup untuk memenuhi score ke luar negeri. Tapi setelah memepelajari kembali, ternyata ada program affirmasi untuk mahasiswa berprestasi, sehingga meskipun score toefl tidak memenuhi kita diperbolehkan untuk mendaftar. Akhirnya saya meminta pergantian dari tadinya beasiswa BPI reguler menjadi Beasiswa Affirmasi. Singkat cerita saya bisa lolos sleksi administrasi dan terus mengikuti sleksi wawancara, esai dan Lgd. Penantian panjang, akhirnya pengumuman pun tiba. Dengan penuh kecemasan dan kegelisahan saya membuka email dan ternyata hasilnya saya dinyatakan tidak lolos alias gagal sleksi wawancara. Bisa teman-teman bayangnkan betapa kecewanya. Namun saya menyadari ini murni kesalahan saya. Saya memilih jurusan yang tidak linier dan saya tidak bisa meyakinkan pewawancara dengan pilihan saya tersebut. Menunggu, dan menunggu untuk bisa mencoba satu kali kesempatan lagi.
Tiba periode Batch I di tahun 2016, saya mendaftar kembali. Dengang pengalaman gagal sebelumnya saya memilih jurusan yang linier denngan s1 dan memilih universitas yang tidak terlalu tinggi. Saya memilih Quensland University Australi. Alhamdulillah proses seleksi adminsitrasi dapat dilalui. Tiba tahap interview, namun ada yang beda pada saat bacth ini. Semua alur akan menggunakan bahasa Inggris full bagi yang mendaftar studi luar negeri. Sungguh pengumuman yang sangat menengangkan, padahal sebelumnya saya mempersiapkan diri untu esai dan lgd dengan menggunakan bahasa Indonesia. Sampai akhirnya, saya pun melalui semua proses itu dengan kemampuan yang saya miliki. Menunggu, menunggu dan menunggu, itulah hal yang paling mencemaskan dan menegangkan. Akhirnya tiba saat pengumuman, Alhamdulillah puji syukur kepada Allah, akhirnya saya dinyatakan lolos sleksi wawancara. Bahagia luar biasa dengan pengumuman ini. Mimpi saya untuk berkuliah di luar negeri akan tercapai.
Namun demikian, sehari setelah pengumuman itu, masuk lagi email pemeberitahuan bahwa ada Surat keputusan pemindahan dari Program luar negeri menjadi ke dalam negeri. Sungguh luar biasa, jiwa sudah naik keatas langit langsung terjatuh kembali. Namun, setelah ditafakuri ini merupakan keputusan terbaik dari Allah buat saya. Masih harus terus memperbaiki diri dan memantaskan diri untuk menuju sebuah pencapaian yang lebih besar. Tapi saya yakin, suatu saat saya harus bisa menginjakkan kaki di podium Harvard Univeristy. Amiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H