Di balik kisah heroik bangsa Indonesia dalam membebaskan diri dari belenggu kolonialisme, tertulis dengan rapih, cerita perjuangan kaum perempuan untuk ikut andil dalam kemerdekaan. Cerita itu telah menjadi sejarah, tertanam kuat dalam memori waktu, dan terus hidup dalam lembaran kehidupan bangsa.
Sejarah telah merekam, pelbagai upaya kaum perempuan di tanah air sebagai sebuah gerakan perjuangan yang telah berhasil mengikis sistem patriarkal dalam masyarakat; bahwa perempuan itu kuat, mampu berpikir revolusionis, terdidik, Â dan mandiri. Gerakan ini kemudian berbuah hasil, lahirnya lembaga pendidikan pendidikan para era paska-kemerdekaan sebagai bukti bahwa perempuan sebagai aktor sentral dalam pembangunan bangsa, hingga detik ini.
Salah satu pelopor dari gerakan revolusioner yang mengubah stigma perempuan tradisional dan mengekang kala itu adalah Ki Ajeng Kartini. Satu kalimat sederhana bahwa:
Kartini adalah salah satu aspirasi perjuangan perempuan, ia tidak hanya terlukis sebagai pejuang yang memprakarsai perubahan dalam bentuk pemikiran yang dituangkan dalam narasi-narasi yang di digores di atas kertas, melainkan menjadi dalang, tokoh utama yang terlibat langsung dalam  mewujudkan pemikiran itu-terutama gagasan tentang emansipasi perempuan, ia berhasil mengubah sebuah pemikiran yang sejatinya sangat sulit diubah, karena pemikiran adalah keyakinan dan terkekang norma masyarakat kala itu.
Narasi ini untuk mengingatkan kembali bahwa perjuangan Kartini tidak akan pernah berhenti, Ia telah meninggalkan sejarah, memberi nutrisi kepada setiap perempuan Indonesia bahwa perempuan itu punya gagasan, kemandirian dan sumbangsi untuk memajukan bangsa ini. Perjuangannya telah menginspirasi seluruh perempuan di tanah air, untuk terus memberi andil di tengah-tengah kita.
Apakah Kartini tinggal nama sejarah?
Semasekali ia bukan sekedar nama sejarah, tetapi telah mengispirasi perempuan hebat lainnya untuk memberi manfaat kepada masyarakat, terus mengalir, melintasi dekade, tak lekang waktu.
Perempuan inspiratif itu adalah Tri Mumpuni, mungkin sebagian telah mengenal wanita paruh baya yang kesehariannya mengenakan batik, dengan jilbab, berpenampilan sederhana. Namun, dibalik kesederhanaan itu terukir prestasi luar biasa yang bahkan sulit dicapai kebanyakan orang. Yang mendedikasikan hidupnya untuk membangun ekonomi masyarakat.
Dalam sebuah cover yang diberi judul  "The World Musim 500: The World 500 Most Influental Muslims 2021" Tokoh 500 Muslim paling berpengaruh di dunia pada tahun 2021, Pada cover itu terdapat tokoh-tokoh berpengaruh dunia, dari pemimpin negara, ulama, kalangan intelektual dan dari sekian nama-nama itu, teradapat ilmuan Muslim Indonesia, Tri Mumpuni dikenal sebagai "perempuan listrik" dan menjadi satu-satunya orang Indonesia dalam daftar 22 Ilmuan Muslim paling Berpengaruh di Dunia.
Ia menginisiasi projek Pembangkit Listrik Skala Kecil Mikro-Hidro yang ramah lingkungan yang membantu memenuhi kebutuhan listrik masyarakat di seluruh Indonesia. Baginya bahwa hidup yang paling baik adalah khorunnas an-fauhum li-nnas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
Ada tiga yang penting, berbagilah rezeki maka kamu akan tambah kaya, berbagilah ilmu maka kamu akan tambah pintar. Tri Mumpuni.
Inilah spirit abadi yang terus mengalir, yang diperjuangkan Kartini kepada kepada kita semua, bahwa hidup memang harus bermanfaat kepada semuanya, hidup nyatanya terbatas, karena ia adalah materil, tapi manfaat yang kita beri atas kehidupan itulah yang tetap abadi. Ikhlas dan tulus, tanpa pamrih dan pujian, membantu kepada masyarakat luas yang hanya membuat nama kita abadi, tak lekang dalam ingatan, menjadi amal jariah.
Semangat ini-lah yang sepertinya berakar pada setiap perempuan hari-hari ini: semangat untuk mengabdi, memberi ilmu pengetahuan kepada dunia.
Semangat Kartini inilah yang saya rasakan, dari ibu saya sendiri yang mengajarkan nilai-nilai keikhlasan dan spirit untuk memberi manfaat kepada orang lain apapun keadaannya. Bahwa hidup itu berjuang dan dalam perjuangan, kita musti memberi manfaat kepada orang lain, sekecil apapun itu.
Ibu saya adalah seorang guru, menjabat sebagai Kepala Sekolah di salah satu desa terpencil, enam hari dalam satu minggu, saya mengantar beliau dan menempuh lebih dari 35 kilometer, jalan berkelok, bebatuan, cuaca dingin dan terik-panas dilalui, kadang basah kuyup ketika hujan lebat, terik membakar kulit ketika matahari menyengat.
Hati sempat goyah, dalam hati meronta, betapa jauhnya perjalanan, bahkan pagi ini perasaan ini tak bisa tertahan, dengan suara meninggi bertanya kepadanya: Apakah ibu tidak lelah setiap hari harus menempuh perjalanan sejauh ini? Ibu saya dan sekaligus "Guru Bangsa" ini menjawab, tidak ada kata lelah dalam mendidik, dan lelah ibu seketika hilang ketika melihat anak-anak semangat belajar.
Perempuan adalah pondasi bangsa, representasi dari peradaban yang agung. Terimakasih Kartini, Tri Mumpuni dan Ibu Guru yang telah mengajarkan arti perjuangan, keikhlasan dan pengorbanan sesungguhnya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H