Mohon tunggu...
L. Wahyu Putra Utama
L. Wahyu Putra Utama Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi

Literasi dan Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Buya Syafii Maarif, Refleksi Religiusitas dalam Wadah Kebhinekaan

11 Juni 2020   18:13 Diperbarui: 11 Juni 2020   18:28 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.voaindonesia.com

Prolog

Sang Guru Bangsa telah genap berusia 85 tahun, meskipun sudah memasuki usia senja, hati dan pikirannnya jauh lebih membara dari kami murid-muridnya yang terbilang masih muda atau para penikmat magnum opus dari pikiran brilian sang Buya.

Beliau adalah sosok sempurna di mata kami, seorang pemikir, penggerak dan sekaligus pengayom bangsa. Ditangannya benang kusut persoalan sosial-keagamaan dapat terurai, merajutnya menjadi kain berwarna; realita masyarakat plural; suku, agama dan etnis berhasil ia perkokoh melalui paham kebangsaan. Namanya tak lekang waktu, pikirannya tak termakan zaman, Ia telah membuat dirinya abadi baik generasi sekarang hingga masa yang akan datang.

Jemari tangannya merekam goresan jutaan kata, kata-kata itu disusun dalam ribuan paragraf yang berisi narasi tentang masa depan anak cucu. Buya berharap agar saya, anda dan kita semua hidup dalam keserasian, rukun, damai dan menghilangkan sikap primordialisme serta rasa ke-Aku-an dalam diri. Sang Buya berada di garda depan memberi alarm sinyalemen bahaya yang mengancam persatuan dan melawan arus pemikiran yang memecah belah.

Buya Syafii Maarif memberikan seluruh hidupnya untuk memelihara dan membangun peradaban. Bukan itu saja, ia juga memberi pencerahan bagi kita semua, dalam upaya membingkai kehidupan masyarakat melalui Islam rahmat lil 'Alamin supaya semua elemen masyarakat saling menghormati dan menghargai perbedaan; keyakinan, suku dan latar budaya.

Tulisan sederhana ini tidak cukup merangkum pemikiran Buya Syafii Maarif yang begitu luas. Saya hanya ingin mengulas pemikirannya tentang Islam dalam narasi keindonesiaan, tujuannya untuk menyegarkan kembali betapa konsep Islam, dan keindonesiaan amat penting untuk diulas. Sebab, kondisi kita hari ini seperti berselancar di atas arung jeram, dihempas arus deras sungai dan diapit batuan cadas, salah sediki  bisa oleng dan tenggelam.

Ancaman disintegrasi bangsa sudah di depan mata, isu SARA makin marak di tengah masyarakat, radikalisme tetap eksis dan makin merajalela, ujaran kebencian di media sosial tak terbendung lagi.

Parahnya, kondisi ini diikuti oleh memudarnya tradisi yang mengandung nilai moral untuk merajut keserasian masyarakat, ditambah lagi gagapnya kekuasaan untuk mempertahankan serta menjaga rajutan keserasian tersebut.

Betapa sedihnya ketika seorang pemimpin negeri, lebih tertarik membaca komik Jepang ketimbang membaca karya-karya Buya Syafii Maarif, atau pemimpin negeri itu lebih senang potret sana sini, membuat guyonon tak penting ketimbang mendorong masyarakatnya untuk membangun budaya literasi. Awas, saya tidak bermaksud menyebut nama lho ya, entar dituduh makar atau fitnah.

Intinya, saya ingin menyadarkan kembali, bahwa perubahan itu dimulai dari diri kita sendiri. Agar jalinan harmonisasi dan solidaritas tetap kokoh, maka salah satu caranya dengan mendalami pemikiran Buya Syafii Maarif. Salah satu karya beliau yang saya baca berjudul Islam, Humanity and Indonesian Identity; Reflection on History (2018), diterjemahkan oleh George A. Fowler.

Wajah Islam di Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun