Sebagian besar dari kita mungkin cukup familiar dengan tokoh cendekiawan Muslim sekelas Ibnu Sina, ilmuan paling berpengaruh di Barat, Suhrawardi Al-Maqtul, pelopor madzhab pencerahan (iluminasi) atau Ibnu Al-Arabi, seorang mistikus besar dalam tradisi tasawuf. Namun, sedikit yang mengetahui Afdhaluddin Al-Khasani, filsuf Persia yang hidup  sezaman dengan tokoh-tokoh besar tersebut.
Khasani memiliki hubungan erat dengan Nasiruddin Al-Tusi, teolog, astronom sekaligus wazir yang juga berhasil menghidupkan kembali filsafat peripatetik (mashsha'iyah) ala Ibnu Sina. Meski demikian, selama hidupnya, Khasani tidak pernah mengajarkan murid-muridnya tentang sejarah filsafat dan tidak pula menjelaskan buku induk filsuf kenamaan, tetapi ia berupaya melakukan refleksi filosofis yang dianggapnya acuan untuk memahami sifat diri (self) manusia dalam mencapai  kebijakasaan.
Selain itu, Khasani tidak menaruh perhatian serius pada masalah ke-Tuhanan sebagai objek penyelidikan filosofis seperti masalah wahdat al-wujud  yang secara mendalam dibicarakan oleh Ibnu Al-Arabi, ia juga tidak berbicara tentang sifat-sifat ilahiyah, tetapi  berusaha memahami konsep ilahi  melalui  akal.
Sehingga, dimensi ontologis dari pemikiran Khasani yaitu ingin menjawab pertanyaan Siapa aku? dan Apa artinya menjadi manusia?. Baginya, substansi sejati dari diri manusia, atau jiwa manusia adalah akal (khirad), di mana akal menjadi perangkat unik manusia dalam memperoleh pengetahuan. Dan kesempurnaan akal dapat dicapai melalui pengetahuan yang disebutnya dengan tauhid.
Dengan Mengeskan Allah (tauhid), seorang hamba akan memperoleh pencerahan Iilahiah. Itu artinya, semakin tebal iman seseorang, semakin dekat ia dengan Tuhan, maka semakin besar pula hidayah, 'inayah dan kasih sayang-Nya .Hal ini dijelaskan dalam salah satu hadits Qudsi; Denganku dia mendengar, denganku dia melihat, denganku dia memukul dan denganku dia berjalan. Maksudnya Allah Swt senantiasa menjaga penglihatan, pendengaran dan ucapan hamba yang senantiasa melakukan ketaatan.
Kerya brilian Khasani ditelurkan melalui berbagai disiplin keilmuan. Di antara karya agungnya yaitu (1) Risalah Yi 'ilmi wan nutq, ia melihat ada dua keunggulan (hunar) manusia yaitu mengetahui (knowing) dan berbicara (talking). (2) Saz wapiraya-yi shahan-ipurmaya (Bahasa Persia) yang berbicara tentang tugas manusia sebagai pemimpin. (3) Madarijul Kamal berarti anak tangga kesempurnaan karya ini mengulas eksistensi dan proses transformasi jiwa manusia. (4) Rahanjam Nama, memuat upaya pengenalan diri dan jalan menuju kesempurnaan manusia. (5) Jawidan nama, bicara tentang tanda-tanda kebesaran Allah, dan terakhir (6) 'Ard nama berisi seputar eksposisi filsafat Khasani tentang Jiwa. (Musannafat, 147-253).
Oleh sebab itu, dalam tulisan ini saya ingin mengulas dua topik utama pemikiran Khasani yaitu tentang jiwa dan eksistensi manusia. Â
Jiwa ManusiaÂ
Islam menaruh perhatian khusus tentang  jiwa manusia, sebab menjadi indikator baik buruk, atau sehat dan sakitnya jasmani, ia juga  dapat mengendalikan keinginan (ego) dan mengarahkan  perilaku manusia untuk berbuat baik atau sebaliknya. Pantas jika filsafat Barat dan Islam berupaya mengkaji tentang masalah kejiwaan hingga lahir ilmu psikologi yang khusus mempelajari masalah kejiwaan.
Dalam tradisi filsafat Islam, manusia digambarkan dengan kesatuan antara realitas sosial dan realitas alam (natural world). Kita tidak menemukan irisan antara manusia karena realitas alam merupakan eksternalisasi dari substansi manusia. Â Dan jiwa manusia adalah internalisasi dari alam, manusia dan alam saling terhubung, saling berhadapan seperti cermin. Maka, untuk mencapai kebijaksanaan hanya dapat berhasil jika realitas alamiah menjadi dirinya sendiri. Sama seperti seorang yang melihat manusia keseluruhan sebagai manifestasi eksternal dari seluruh potensi dan jiwa pada dirinya.
Oleh sebab itu, kosmologi Islam tidak semata-mata membahas hukum-hukum alam, tetapi di dalamnya mencakup diri dan kesadaran manusia. Karenanya, setiap deskripsi kosmik dalam filsafat Islam, Â kembali ke struktur jiwa dan pikiran manusia. Sehingga, apa yang kita pahami tentang dunia, tidak lain karena pemahaman yang ada dalam alam pikir kita sendiri.Â