Jadi, kegagalan soal proses, yang terpenting bagi saya bahwa Prabowo adalah pahlawan dan negarawan, di saat elit politik tercerembab dalam pragmatisme, ia mengingatkan kembali pada kita makna sebuah idealitas, arti bahwa kemerdekaan belum di capai sepenuhnya.Â
Di balik suaranya yang lantang, tersimpan pesan moral bahwa seharusnya kita sebagai bangsa yang besar masih harus berjuang, berjuang melawan korupsi dan ketimpangan.
Prabowo Subianto, sama sekali tidak rugi. Sebaliknya, ia seharunya bahagia, partai besutannya yang selama ini diperjuangkan, partai  Gerindra menjadi partai dengan perolehan suara terbesar kedua, mengalahkan partai-partai lawas.
Jadi, bagi saya Prabowo senang, dengan hasil yang diperoleh partai besutannya. Bertengger pada urutan  ke dua perolehan suara nasional adalah pencapaian optimal. Ini menunjukkan partai Gerindra makin kuat hingga tarap grass root (akar rumput) sehingga, bisa dijadikan tolak ukur untuk melihat peta politik lima tahun mendatang. Sudah tentu, pesta demokrasi yang akan datang tidak lagi melibatkan antara Prabowo dan Jokowi, pesta demokrasi selanjutnya akan diisi oleh tokoh-tokoh muda.
Terakhir, Saatnya kita kembali dalam bingkai kebersamaan dan kehangatan bernegara. Pesta telah usai, mari bersama menatap masa depan Indonesia lebih baik. Saatnya kita mengawal kinerja pemerintahan baru, yang perlu dijaga adalah nalar kritis, hilangnya nalar kritis adalah awal lahirnya rezim otoriter dan pseudo-demokrasi. Oleh sebab itu, mari kita jaga demokrasi dengan merawat nalar kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H