Pesta demokrasi telah usai, namun tidak untuk tensi politiknya. Hingga detik ini masih ada saja pihak yang mencoba "mengadu domba" masyarakat. Buntutnya, rusuh 21-22 Mei lalu menyisakan duka mendalam bagi pihak yang menjadi korban. Demonstrasi yang berujung anarkis itu murni desain elit politik, memanfaatkan isu seputar "kecurangan masif dan terstruktur" untuk menyulut amarah simpatisan.
 Memang, publik menemukan sejumlah kecurangan dalam pemilu kali ini dan mengecewakan semua pihak, namun, sepatutnya kita harus menyadari bahwa di negara maju sekalipun, kecurangan itu pasti ada. Sehingga, langkah konkret ke depan adalah memperbaiki sistem demokrasi, sehingga demokratisasi di lima tahun mendatang  terlaksana dengan baik.
Penyebab makin memanasnya tensi politik tidak lain karena sikap  Prabowo dan koalisi  dalam menyikapi  kecurangan. Beberapa kali, Prabowo menuduh bahkan menolak hasil resmi rekapitulasi KPU. Seharusnya, sebagai negarawan ia hadir di muka publik dengan pesan meneduhkan, mengajak masyarakat bersatu setelah pemilu usai, bukan  menuangkan minyak dalam bara api.
Saya memahami bahwa reaksi Prabowo itu bukan tanpa alasan, dalam konteks politik langkah tersebut adalah sebagai strategi politik jangka panjang untuk mempertahankan basis simpatisan terutama dari kalangan Islam politik.
Tentu, terminologi Islam politik yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah kalangan kelompok yang menghendaki pemimpin lahir dari kalangan ulama atau atas ijtihad dan kesepakatan ulama. Dalil ini memang ambigu, jika ada pertanyaan ulama mana yang dimaksudkan?Â
Bukankah, lawan politik Prabowo adalah representasi dari elemen ulama? Jawabannya hanya bisa ditelisik melalui satu jalan yaitu dalam dua tahun belakangan, terminologi ulama mengkerucut pada "Ijtima' Ulama", yaitu mereka yang anti-China, anti-PKI dan dalil-dalil konspirasi.
Meskipun demikian, ada dua fenomena menarik dari gerakan Islam politik ini, pertama, meskipun mengakui representasi dari Islam, tetapi mereka cenderung bergerak pada dua kaki, partai sekular seperti Ggerindra dan partai dengan corak Islam seperti PAN, PKS. Kedua, dari segi pemahaman, Islam politik ini sebenarnya moderat, jauh dari kesan konservatif.
Sehingga gerakan Islam politik mengalami perubahan, baik dari sisi strategi dan konsepsi, ia tidak lagi terikat pada partai-partai Islam dan tidak pula terikat pada doktrin tentang Islam dan negara, tetapi berangkat dari pancasila, demokrasi dan persatuan.
Lalu pertanyaan dasarnya adalah, apakah Prabowo sedih atas hasil Pilpres setelah dua kali sebelumnya gagal? atau tuduhan yang disematkan pada dirinya, bahwa Prabowo mengalami tekanan mental karena kalah?
Saya ingin memberikan gambaran, bahwa semua tokoh-tokoh besar mengakui bagaimana peran, kiprah dan keikhlasan Prabowo Subianto. Mendiang Gusdur pun, menggambarkan beliau sebagai kesatria dan sosok yang begitu ikhlas. Dia (Prabowo) terlibat dalam pentas politik, bukan karena haus kekuasaan, melainkan murni ingin memperbaiki nasib bangsa, ingin melihat masa depan saya, anda dan kita semua lebih baik.Â