Mohon tunggu...
L. Wahyu Putra Utama
L. Wahyu Putra Utama Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi

Literasi dan Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gerakan Politik Perempuan Post-Reformasi | Identitas, Konstruksi, dan Pencapaian

11 September 2018   05:49 Diperbarui: 11 September 2018   05:54 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nasional.sindonews.com

Citra perempuan dalam literatur politik dan kesejarahan Indonesia saya anggap masih pincang. Di samping beberapa peneliti menguraikan bahwa perempuan tidak hadir dalam teks dan literatur politik  dan sejarah nasionalisme kebangsaan. Mereka tidak terlihat dalam catatan fotografi, memoar dan sejarah resmi negara. Nampaknya gerakan identitas perempuan diposisikan di luar definisi politik konvensional dan jarang dimasukkan dalam analisis arus utama.

Kenyatannya, diskursus perempuan dalam konstelasi politik Indonesia mengalami perkembangan signifikan. Hal ini didasarkan pada kondisi geopolitik dan sosial Indonesia yang menyediakan ruang partisipasi politik yang lebih terbuka. 

Untuk memahami bagaimana potret gerakan kaum hawa dalam pentas politik Indonesia, tergambar apik dalam penelitian Susan Blackburn dengan judul "Woman and the State in Modern Indonesia", menguraikan relasi mutualisme antara negara dan gerakan perempuan serta dampaknya terhadap transisi politik Indonesia menuju demokrasi. 

Tidak hanya itu, menurut Ruth Woodsmall mendiskripsikan bahwa gerakan perempuan Indonesia sebagai salah satu kekuatan paling penting dalam perjuangan Indonesia.

Menurut Susan, untuk memahami relasi negara dan gerakan perempuan secara utuh, perlu pembacaan diakronis untuk mengungkap relasi, identitas dan peran perempuan dalam politik yang selama ini masih terkesan samar-samar. Relasi, identitas dan peran tersebut dibangun dalam beberapa tahap yaitu:

Era Kolonial 1900-1942. 

Pada tahap ini, pengaruh doktrin gander-kolonial terhadap kebangkitan gerakan perempuan sangat jelas, eksponen aspirasi awal yang paling terkenal dari gerakan perempuan Indonesia adalah Raden Ajeng Karini (1879-1904) menjadi promotor gerakan perempuan yang memperjuangkan hak pendidikan dan simbol perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tidak hanya itu,  Kartini mewakili  simbol kecerdasan, keberanian, ide dasar emansipasi wanita serta perjuangan atas penindasan dan masalah sosial.

Perjuangan Kartini melahirkan lokus gerakan perempuan di berbagai daerah untuk membentuk organisasi sosial-keagamaan. Meski, Organisasi ini terbatas pada daerah dengan taraf pendidikan lebih kuat seperti Sulawesi, Jawa dan Sumatera tapi gerakan mereka kemudian menjadi representasi dari perjuangan negara. 

Adapun organisasi wanita pertama yang diketahui  bernama Putri Mardika yang didirikan di Jawa pada tahun 1912 dengan bantuan organisasi Budi Utomo dan organisasi Aisyiyah pada 1917, sayap gerakan perempuan dari gerakan Islam modernis Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta. 

Tiga tahun berikutnya, organisasi-organisasi perempuan tergabung dalam barisan lebih besar, sehingga dampaknya ketika partai politik dan organisasi keagamaan membentuk sayap gerakan perempuan dengan agenda mempromosikan pendidikan, status hukum dan aktivisme sosial lainnya.

Embrio Negara Demokrasi hingga Demokrasi Terpimpin 1949-1965

Kontribusi besar Soekarno terhadap gerakan perempuan adalah memberi ruang kebebasan pada gerakan perempuan untuk membangun identitas dan aktivisme sosial-politik hingga tingkat lokal.

Tercatat pada era Soekarno organisasi Perwari dan Gerwani menjadi organisasi kuat yang mewakili gerakan perempuan, sebuah organisasi radikal yang didirikan pada tahun 1950-an dan lebih dekat dengan Partai Komunis Indonesia. 

Menjamurnya gerakan perempuan hingga tingkat lokal tidak sebanding dengan prosentase partisipasi pada tingkat parlemen terbukti hasil pemilu yang diselenggarakan pada 1955 hanya 19 dari 271 anggota parlemen atau sekitar 7 % yang mewakili perempuan.

Beberapa tahun berikutnya, keseimbangan antara negara dan gerakan perempuan berubah secara signifikan dengan diperkenalkannya Demokrasi Terpimpin pada 1958 ketika Soekarno memulihkan UUD 1945. 

Masa ini disebut dengan pemaksaan ideologi revolusioner, doktrin nasionalisme dan semangat anti-imperialisme sebagai corak dasar pemikir Soekarno bepengaruh pada doktrin ideal gerakan perempuan masa itu.

Ada dua peristiwa besar secara umum mempengaruhi gerakan perempuan dari Demokrasi Terpimpin hingga 1965. Pertama, di bawah pemerintahan Soekarno, relasi antara negara dan gerakan perempuan terakomodir dengan baik. Terbukti dengan makin menjamurnya gerakan Perwari dan Gerwani yang bercorak Komunis dan gerakan perempuan yang mewakili aspirasi agama. 

Keduanya berjalan beriringan karena disatukan oleh semangat revolusioner Soekarno. Kedua, peristiwa kudeta yang dilakukan Soeharto pada 1965 menandai babak baru bagi relasi negara dan gerakan perempuan. Segala bentuk aktivitas organisasi yang berhaluan PKI termasuk Perwari dan Gerwani dilarang oleh Soeharto.

Gerakan Perempuan Pasca-Reformasi 1998-Sekarang

Seperti dijelaskan sebelumnya, relasi negara dan gerakan perempuan telah terbangun bahkan sejak pra-kemerdekaan. Perempuan mengambil posisi strategis dalam membangun kehidupan sosial dan bernegara. Menariknya, meski terjadi perubahan pemerintahan dari demokrasi terpimpin, orde baru hingga reformasi, identitas dan konstruksi gerakan perempuan berjalan dalam koridor yang benar. Kesetaraan dan  kebebasan adalah hasil perjuangan tak kenal lelah para inspirator gerakan perempuan negara ini.

Melalui usaha keras mereka, hak perempuan dijaga dan dijamin oleh konstitusi. Jika aktivisme perempuan di Barat berujung pada penindasan, maka gerakan perempuan dalam catatan sejarah Indonesia berkembang secara dinamis. Dari Kartini, proses evolutif intelektual kaum hawa terbangun, mereka mengangap pendidikan sebagai dasar bagi kemajuan.

Hal ini diungkapkan oleh Ismail, "bahwa kemerdekaan dan demokratisasi memberi perempuan sebuah peluang baru yang penting untuk bertindak sebagai warga negara dari sebuah pemerintahan yang demokratis, bagi perempuan Indonesia kesempatan ini datang melalui proses pembangunan nasional pasca-kolonial dan transisi. Perempuan harus mendefinisikan peran, kewarganegaraan dan partisipasi mereka dalam negara demokrasi. 

Oleh sebab itu, Indonesia dapat membanggakan diri dengan gerakan perempuan yang bersinergi dengan negara dan dianggap menjadi salah satu gerakan paling dinamis dan bahkan lebih maju dari negara Barat".

Silahkan Baca: 

-Susan Blackburn, Woman and the State in Modern Indonesia, (United Kingdom: Cambridge University Press, 2004)

-Elizabeth Martyn, The Women's Movement in Post-colonial Indonesia: Gender and notion in a new democracy, (New York: RoutledgeCurzon, 2005)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun