Pernah melihat anak-anak membawa proposal atau semacamnya sembari memberikan informasi program yayasan dan lembaga mereka?
Jika Anda berjalan ke pasar tradisional, car free day, Â atau event-event lainnya akan mudah menjumpai orang-orang yang membagikan brosur guna menghimpun dana. Mereka disebut fundraiser, pencari dana, penghimpun donasi. Â Orang yang tergabung di dalamnya mengajak masyarakat Indonesia yang gemar berderma itu untuk mengalirkan uang ke yayasan atau lembaga yang mereka geluti.
Hal ini lumrah terjadi, bahkan sudah ada digitalisasi donasi dalam bentuk web dan sejenisnya. Tapi yang akan dibahas disini adalah anak-anak yang menghimpun dana bagi yayasan atau lembaga.
Sebenarnya, sah-sah saja orang mau meminta donasi, memberikan donasi atau mengelola hasil donasi tersebut. Toh itu cara yang legal dan diakui negara. Silakan saja selama apa yang disampaikan jelas sumber dan alur pengeluaran dananya.
Problematikanya adalah mengapa anak-anak yang dijadikan tameng untuk meminta donasi pada masyarakat luas? Apakah itu sebuah strategi, bahwa orang akan lebih mudah kasihan dan memiliki rasa iba yang tinggi pada anak-anak, sehingga mau dan segera mendermakan uang mereka?
Beberapa waktu berlalu di pasar, seringkali kami jumpai anak-anak meminta donasi untuk program yayasan atau lembaga mereka. Strategi ini cukup berhasil meraup pasar derma dari orang-orang, ditambah dengan bumbu agamis, tentu semakin empuk daging yang didapat.
Menurut Abdul Ghafur, seorang fundraising expert, setidaknya ada tiga prinsip fundrising, yakni mencintai kegiatan fundraiser, memahami lembaga dan program, serta memiliki kepekaan terhadap donatur. Apakah anak-anak usia remaja sudah memiliki ketiga prinsip tersebut?
Kalau dibilang cinta terhadap kegiatan fundraiser, anak-anak senang saja diberikan tugas tersebut. Jangankan fundraising yang bermuara pada uang, kegiatan gratisan saja mereka rela berjibaku. Baiklah, anggap saja anak-anak usia remaja memang mencintai program ini.
Kemudian, apakah anak-anak usia remaja memahami lembaga atau program yang diwakili? Pada poin ini, kita boleh beradu argumen. Tidak semua yayasan atau lembaga mampu memberikan pemahaman yang baik pada kadernya atas kegiatan fundraising, apalagi dalam konteksnya anak-anak.
Para remaja tidak akan ambil pusing soal lembaganya, baik dari siapa pengurusnya, bagaimana perizinannya hingga pembagian hasil 'jarahan' dari masyarakat. Mereka hanya tau beraksi dengan 'menodong' masyarakat dengan kalimat-kalimat yang sudah disetting.
Kemudian, prinsip kepekaan terhadap donatur, apakah para remaja mampu melakukannya? Mahasiswa sarjana pendidikan yang belajar psikologi hingga tiga semester saja outputnya tak sebaik yang diharapkan, apalagi remaja kemarin sore yang mengikuti pelatihan fundraising sembari makan kudapan ringan?
Sudahlah, para pengurus yayasan dan lembaga yang terhormat. Jangan lagi gunakan anak-anak dan remaja sebagai tameng serta ujung tombak pemutar uang kalian. Zaman sekarang sudah canggih, silakan beralih pada cara-cara digital, yang elegan dan menarik serta luas jangkauannya, yang tentunya tidak akan menggunakan jasa anak-anak lagi dengan dalih surga dan segala macam kenikmatannya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H