Satu keluarga di Kalideres, Jakarta Barat, ditemukan tewas pada Kamis, 10 November 2022 lalu.Â
Kasus berawal ketika warga setempat mencium aroma busuk dari rumah korban. Bersama polisi, warga masuk ke dalam rumah dan menemukan jasad korban telah membusuk. Para korban berinisial RG (71), DF (42), RM (66) dan BG (68).
Setelah melalui otopsi, polisi mengatakan bahwa tidak ditemukan bekas kekerasan pada tubuh korban. Bahkan yang lebih mengejutkan adalah tidak ditemukannya sisa makanan pada organ dalam. Hal ini mengindikasikan korban tewas karena kelaparan.
Namun, hal tersebut dibantah oleh keluarga korban. Keluarga mengaku bahwa korban bukan orang yang tidak punya secara ekonomi sehingga tidak mungkin menderita kelaparan.
Mengacu pada tribunnews.com, Adrianus Meliala, seorang kriminolog Universitas Indonesia, menduga kematian sekeluarga di Kalideres karena menganut sekte apokaliptik.
Apa sebenarnya Apokaliptik?
Jika dilihat dari bahasa Yunani, 'Apokaliptik' berarti 'menyingkap' atau 'membuka'. Sedangkan menurut KBBI, apokaliptik bermakna kehancuran dunia.
Melansir tvonenews, Apokaliptik merupakan aliran yang percaya akan datangnya penghakiman Tuhan karena dunia ini sudah rusak dan akan digantikan oleh dunia baru.
Penganut Apokaliptik dapat juga dijumpai di luar Indonesia sebagaimana kasus di Amerika, sekira 39 orang tewas dalam gerakan bunuh diri massal pada 1997 dan menjadi kasus bunuh diri massal terbesar di sana.
Menurut penganutnya, bunuh diri merupakan cara cepat untuk menuju surga. Sesuatu yang tidak terlihat akan tampak dengan cara bunuh diri.
Kasus di Kalideres
Namun, jika dikaitkan dengan kasus tewasnya satu keluarga di Kalideres, tentu saja ini mengerikan.Â
Apabila benar satu keluarga yang tewas itu menganut paham Apokaliptik, maka cara bunuh dirinya sangat menyakitkan karena menahan lapar sekian lama untuk pergi dari dunia.
Tetapi apapun itu, pihak yang berwajib masih menyelidiki secara saksama. Mungkin saja ada hal-hal yang belum terungkap secara gamblang perihal peristiwa tersebut.
Refleksi Diri
Sebagai bahan renungan, tentu saja peristiwa di atas memberikan banyak pelajaran kehidupan bagi kita.
Pertama, hidup ini adalah kegiatan sosial. Siapapun yang menjadi manusia, maka dia harus bersosialisasi dengan sesama. Melepaskan komunikasi, apalagi terhadap orang terdekat adalah jalan untuk bunuh diri.
Kedua, hidup ini adalah nikmat Tuhan yang paling indah. Dilahirkan sebagai manusia normal menjadi sebuah nikmat yang patut disyukuri dengan cara mengerjakan hal-hal yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.
Ketiga, percaya atau tidak, hidup adalah takdir yang telah digariskan dengan sempurna. Tetapi di dalam takdir itu ada banyak jalan yang dapat dipilih manusia. Hidup bermartabat atau mati dengan mulia adalah sebuah pilihan. Siapa saja dapat memilih.
Oleh karena itu, setiap manusia harus bijak memilih jalan hidupnya sendiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H