Mohon tunggu...
Ega Wahyu P
Ega Wahyu P Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Seorang pengelana dari negeri Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Bola

Kanjuruhan: Sepak Bola atau Nyawa?

3 Oktober 2022   15:59 Diperbarui: 3 Oktober 2022   17:19 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepakbola merupakan satu diantara sekian cabang olahraga yang bergengsi di dunia. Bahkan, masyarakat Indonesia dikenal sebagai "penggila" bola. Olahraga yang satu ini telah bertransformasi drastis diberbagai sisi kehidupan. Bukan hanya sekadar olahraga yang memberikan kesehatan pada tubuh, tetapi juga telah berkembang sebagai hiburan bagi masyarakat, industri bisnis yang menguntungkan, hingga menjadi sebuah profesi yang menjanjikan.

Sepakbola sebagai hiburan terbukti dengan jumlah penonton yang selalu membludak disetiap pertandingan pada liga Indonesia. Alhasil, dari aspek hiburan tersebut, tercipta peluang bisnis yang menguntungkan, seperti hak siar, sponsorship hingga peningkatan ekonomi UMKM, bahkan juru parkir pun kecipratan rezekinya.

Sepakbola juga sebagai tumpuan hidup pemain dan officialnya. Banyak yang menaruh asa hidupnya di dunia sepakbola. Bahkan dari sepakbola, seorang pemain bisa berjalan dan keliling dunia, jangankan keluar uang, malah dapat uang. Tentu saja itu lebih dari cukup untuk membiayai keluarga kecil mereka, hingga anak dan cucunya.

Tetapi nyatanya, sebuah pemikiran tidak statis yang dibayangkan. Ada gelombang dinamis yang menggulung pemikiran-pemikiran tersebut. Namanya juga manusia, ada rasa ketidakpuasan dihati ketika sesuatu itu didapat kecil, baik nominal, material maupun urusan batin. Ada fanatisme yang muncul didalam benak.

Kita tidak membicarakan fanatisme dalam perspektif supporter saja. Dalam hal ini, lebih baik memperluas persepsi, bahwa bukan hanya supporter sebagai penggila bola itu. Mereka yang punya berbagai julukan dan perkumpulan tersebut mendukung tim bola kesayangannya dengan tulus, bahkan melebihi ketulusan ia mencintai dirinya.

Mereka datang meluangkan waktu, berdesakan, bernyanyi, berteriak, mendukung, bahkan rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit hanya untuk melihat tim kebanggaan mereka jaya.

Di luar itu, ada mafia besar yang juga fanatik terhadap bola. Tak usah dipungkiri, sepakbola telah merambah ke berbagai latar belakang banyak orang. Para pengusaha terkadang membesar-besarkan sesuatu yang berkaitan dengan bola, agar mendapatkan banyak perhatian publik. Tentu saja ujung-ujungnya uang.

Peristiwa di Kanjuruhan, Malang, merupakan satu diantara sekian banyak kejahatan pengusaha kaya yang berkepentingan di dalamnya. Hak siar, sponsorship hingga regulasi mungkin saja mereka otak-atik. Tidak ada lagi sepakbola yang benar-benar murni mengandalkan skill pemain, strategi pelatih, kecakapan manajemen hingga bijaknya regulasi.

Semua telah diatur sedemikian rupa untuk memuaskan orang-orang dibalik layar.

Kanjuruhan Malang menjadi bukti keganasan dan keegoisan mereka yang dibalik layar itu. Tak lagi mengindahkan imbauan pihak keamanan, atau memperhatikan kapasitas stadion, ataupun merevisi aturan yang sesuai kondisi lapangan. Hanya kepentingan bisnis, nyawa manusia menjadi pemanis.

Mau mereka mati konyol atau tidak, orang dibalik layar tidak peduli. Mau mereka menderita, berdesakan keluar stadion, atau baku hantam dengan pihak keamanan, mereka tidak peduli. Bahkan hingga berita ini turun dan menyelimuti dunia, mereka juga tidak peduli. Toh mereka sudah dapat duitnya.

Tidak ada sepakbola yang benar-benar nyata. Jikalau ada, hanya bisa disaksikan di komplek-komplek kota, atau tanah lapang di perkampungan. Hanya anak-anak sungai atau remaja dusun yang jujur bermain bola. Tak ada judi, tak ada intimidasi, atau praktek dukun sesat. Semua hanya untuk bersenang-senang.

Kanjuruhan Malang menjadi saksi, betapa besarnya pengaruh sepakbola di Indonesia. Jika nyawa saja hilang karena bola, tentu mereka juga tidak akan keberatan melakukan hal yang sama dalam konteks nasionalisme. Semua yang wafat, kita doakan tenang dan meninggalkan dunia dalam keadaan damai. Semoga Tuhan mengampuni dosa mereka, dosa pejabat dan pengusaha, dosa kita semua. Semoga pula ada titik terang yang mengubah stigma masyarakat, bahwa bola bukan ajang penyerahan nyawa. Bola adalah hiburan, untuk saya, anda, kita semua, dan dunia yang fana ini.

Pray for Kanjuruhan

Semoga ini yang terakhir, atau hilangkan bola dari dunia.

Nyawa adalah harta yang tidak akan pernah bisa ditebus dengan uang, atau diwariskan pada keturunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun