Suasana lengang sejenak.
Semenjak pertanyaan dosen lelaki itu, kebisuan semakin menjadi di ruang sidang. Mahasiswa hanya melihat Al dari kejauhan. Mata Al tampak melihat sebuah benda di mejanya. Pertanyaan dosen tentang Ahmad Fatoni sang pengarang metode Maisura, membuat Al harus segera menuntaskannya.
Seperti ada yang menuntun, tangan Al mulai membolak-balik bukunya. Tiba-tiba saja ia langsung membuka halaman terakhir, halaman yang berisikan bibliografi. Tertulis nama Ahmad Fatoni. Teringatlah Al akan sesuatu.
"Ahmad Fatoni ini adalah rujukan penulis, pak. Beliau mengembangkan metode Maisura karangan Dr. Ahmad Fatoni." Al memecah kesunyian.
Kedua dosen melihatnya, seakan-akan berkata, "Bagaimana anak ini bisa menjawab, sedangkan raut wajahnya mengatakan tidak tahu"
"Apakah ini pengembangan, atau hanya sebuah versi lain dari metode Maisura?" dosen lelaki tidak mau kalah.
Ia terus mencecar Al dengan pertanyaan berkelanjutan. Banyak dosen bertipikal demikian. Selalu enggan mengalah. Padahal mahasiswa telah banyak mengorbankan daya pikirnya, hingga tetesan keringat jatuh bebas menuju permukaan wajah, membasahi setiap senti baju, membuat hawa mulai panas disekujur tubuh. Gengsi yang terlalu tinggi selalu menjadi alasan. Mengapa pula dosen bisa kalah dari mahasiswa, secara status sosial maupun pendidikan, mahasiswa jauh tertinggal dibanding dosen.
Tapi kehidupan akademik kampus begini adanya. Argumentasi harus berdasarkan data. Apalah bedanya ucapan yang dikatakan Al, tanpa data, dengan dongeng pengantar tidur warisan tetua di kampung halaman. Jadi bulan-bulanan lah dia di ruang itu.
"Ini adalah pengembangan. Bukan versi lain dari metode Maisura, pak." Al tegas menjawab. Entah ilham dari mana yang menghampirinya, berani betul menjawab singkat dan cepat. Sepertinya akal Al mulai bermain dalam retorika pertanyaan dosen. Pertanyaan itu hanyalah refleksi pemahaman Al terhadap proposalnya.
"Terus bedanya dimana?" dosen lelaki kembali bertanya.
Sudah terbaca. Satu pertanyaan yang dijawab, akan mengundang pertanyaan lain, yang terkadang pertanyaan itu terlihat sederhana tetapi mematikan. Dosen ini menyebalkan. Walau sebenarnya Al senang dengan hal itu.
"Metode Maisura tidak dinyanyikan seperti metode yang saya kaji, pak." Al santai menjawab. Yakin betul dosen itu akan tergumam.
"Memangnya kamu sudah baca metode Maisura?" lagi-lagi dosen bertanya hal sepele.
"Belum, pak." Ini jawaban yang akan mengakhiri pertanyaan dosen. Jawaban yang membuat suasana canggung, menjadi benar-benar canggung. Entah setelah ini akan selesai, atau menjadi awal bulan-bulanan Al di ruang sidang. Sekarang wajah Al tampak pasrah. Ia sudah siap dengan segala kemungkinan yang ada. Dihantam dengan berbagai kritikan pedas, atau mendapat pujian hebat, ia terima saja. Tapi tentu tak mungkin pujian itu datang, mengingat kesalahan Al yang sudah tampak dipermukaan.Â
"Bagaimana kamu bisa bilang beda sementara kamu belum membacanya? Kamu belum membandingkannya."
Benar saja. Jawaban Al menjadi bumerang.
Al hanya terdiam, menunduk, sesekali membalikkan halaman bukunya. Padahal tak ada satu kata pun yang ia baca. Di halaman yang penuh tulisan itu, ia hanya melihat bayangan dirinya yang sudah hancur berkeping. Apalah daya seorang kandidat magister seperti dirinya. Tiada cermin seorang ilmuan. Hanya seperti auman singa di dalam layar ponsel, terdengar hebat tetapi semu belaka. Hanya seperti hiu di kapal nelayan, terlihat menakutkan tetapi telah menjadi bangkai, tak bisa berbuat banyak.
Nyamuk yang hinggap tidak ia hiraukan. Desingan lalat yang terbang tidak ia dengar, apalagi semut yang merayap diantara retakan dinding gedung bertingkat. Sinar mentari yang masuk, remang cahayanya, memberi secercah harapan.
"Proposal ini sangat miskin teori. Penulisnya juga kurang memahami masalah. Kamu harus baca lagi, apa yang telah menjadi catatan. Saya rasa ini pilihan, dengan ide yang sangat bagus, tentu harus dipertimbangkan. Sebenarnya proposal ini lebih cocok disidangkan sebagai doktor. Sekarang kamu pilih saja, mau lanjut dengan apa yang telah kamu mulai, atau beralih kepada metode yang sederhana dengan pertimbangan waktu."
Al mulai mengerti. Dosen sedikit memuji karyanya.
Ia pun memulai kembali kebiasaannya, mengangguk-angguk. Tapi kali ini simetris dengan kalimat dosen. Takut pula ia ditegur lagi.Â
Ini akan menjadi hal yang berat, memilih dua hal yang sama-sama ia tidak mengerti. A dan B. Sulitnya sama saja. Tetapi Al harus kuat. Banyak hal yang menuntutnya maju.
Selagi ia memikir keras tentang saran dosen lelaki, tetiba saja dosen wanita mulai membetulkan posisi duduknya. Terlihat dari wajahnya, ada hal yang ingin disampaikannya. Entah apa yang akan dikatakan wanita paruh baya tersebut. Matanya mulai terbuka lebar, kacamata yang terlihat mahal itu mulai meyakinkan Al, sesekali ia membalikkan halaman bukunya.
Benar saja, mulutnya mulai terbuka. Dosen itu pasti akan menambah kritikan pedas, sepedas raut wajahnya. Al tentu harus menutup jalur pendengarannya, agar tidak terkoneksi ke dalam hati.Â
Suasana hening kembali pecah, dosen mulai berbicara. Al pun siap mendengar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H