"Metode Maisura tidak dinyanyikan seperti metode yang saya kaji, pak." Al santai menjawab. Yakin betul dosen itu akan tergumam.
"Memangnya kamu sudah baca metode Maisura?" lagi-lagi dosen bertanya hal sepele.
"Belum, pak." Ini jawaban yang akan mengakhiri pertanyaan dosen. Jawaban yang membuat suasana canggung, menjadi benar-benar canggung. Entah setelah ini akan selesai, atau menjadi awal bulan-bulanan Al di ruang sidang. Sekarang wajah Al tampak pasrah. Ia sudah siap dengan segala kemungkinan yang ada. Dihantam dengan berbagai kritikan pedas, atau mendapat pujian hebat, ia terima saja. Tapi tentu tak mungkin pujian itu datang, mengingat kesalahan Al yang sudah tampak dipermukaan.Â
"Bagaimana kamu bisa bilang beda sementara kamu belum membacanya? Kamu belum membandingkannya."
Benar saja. Jawaban Al menjadi bumerang.
Al hanya terdiam, menunduk, sesekali membalikkan halaman bukunya. Padahal tak ada satu kata pun yang ia baca. Di halaman yang penuh tulisan itu, ia hanya melihat bayangan dirinya yang sudah hancur berkeping. Apalah daya seorang kandidat magister seperti dirinya. Tiada cermin seorang ilmuan. Hanya seperti auman singa di dalam layar ponsel, terdengar hebat tetapi semu belaka. Hanya seperti hiu di kapal nelayan, terlihat menakutkan tetapi telah menjadi bangkai, tak bisa berbuat banyak.
Nyamuk yang hinggap tidak ia hiraukan. Desingan lalat yang terbang tidak ia dengar, apalagi semut yang merayap diantara retakan dinding gedung bertingkat. Sinar mentari yang masuk, remang cahayanya, memberi secercah harapan.
"Proposal ini sangat miskin teori. Penulisnya juga kurang memahami masalah. Kamu harus baca lagi, apa yang telah menjadi catatan. Saya rasa ini pilihan, dengan ide yang sangat bagus, tentu harus dipertimbangkan. Sebenarnya proposal ini lebih cocok disidangkan sebagai doktor. Sekarang kamu pilih saja, mau lanjut dengan apa yang telah kamu mulai, atau beralih kepada metode yang sederhana dengan pertimbangan waktu."
Al mulai mengerti. Dosen sedikit memuji karyanya.
Ia pun memulai kembali kebiasaannya, mengangguk-angguk. Tapi kali ini simetris dengan kalimat dosen. Takut pula ia ditegur lagi.Â
Ini akan menjadi hal yang berat, memilih dua hal yang sama-sama ia tidak mengerti. A dan B. Sulitnya sama saja. Tetapi Al harus kuat. Banyak hal yang menuntutnya maju.