Aku terkekeh pelan mendengarnya. Kubebaskan Maher berceletoh panjang. Padahal pikiranku sekarang sibuk dengan barisan buku yang penuh dengan ukiran tangan. Namun sayang, baru kusadari ada yang salah sedari tadi. Buku yang ku pegang ini bertuliskan bahasa-bahasa yang tak kupahami, selain itu juga terdapat tulisan arab gundul yang tak mudah ditiru. Tekstur kertasnya bukan dari serat pohon, goresan tulisannya bahkan tak ku kenali.
“Kau dapat buku ini dari mana? Seperti bukan dari abad ini,” aku bertanya tanpa menoleh. Namun, tubuhku sudah bergetar hebat merasakan memang ada yang janggal.
“Itu memang bukan dari abad ini,” jawab Maher datar. Suaranya sangat berbeda dari 2 jam lalu ku kenal.
Aku menoleh dengan peluh yang sudah membanjiri keningku. Kepanikan ku bertambah sesaat bukan Maher yang kudapati duduk dikursi kayu, tapi seorang kakek-kakek tua yang kini menatapku tajam.
“Pergilah! Bawa buku itu dan pelajari isinya. Ajari mereka yang tidak berada dijalan yang benar,” ucap suara serak nan pedih itu yang samar-samar ku dengar.
Tanpa pikir panjang aku langsung berlari keluar rumah kayu. Gelap gulita menyapa, tapi itu lebih baik daripada berada didalam ruangan bersama mahluk itu. Tanpa kusadari buku pemberiannya kugenggam erat-erat bersama dengan buku sejarah islam yang menjadi salah satunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H