Suara tangisan air hujan, becekan air yang menggenang, serta obor api yang seakan berteriak meminta padam. Suasana malam ini memang tak seindah yang diperkirakan. Gelap gulita menyerang seluruh isi pedesaan, membuatku mengeluh karena tak ada satupun sumber cahaya yang dapat menuntun netraku mengambil jalan. Tak sesekali kakiku menginjak potongan ranting-ranting pohon yang suaranya bak memanggil lolongan anjing hutan.
Sial! Seharusnya tak begini. Kalau saja aku tak menuruti perintah Bapak untuk pergi mondok pasti hidupku akan terasa lebih menyenangkan. Tak perlu telingaku itu sengsara karena suara para pendakwah mashur yang menyuruhku untuk duduk belajar. Entah itu untuk membaca beberapa buku maupun membaca isi ayat-ayat sebuah kitab.
Apalagi dengan tambahan kesengsaraan yang orang-orang tua itu berikan. Apa maksudnya dengan sebuah pekerjaan rumah yang menyuruhku membawa dan membaca buku sejarah islam? Sungguh melelahkan. Sejarah adalah masa lalu, untuk apa dibaca dan dipikirkan? Membuat mataku sakit saja. Lebih mending diriku menghisap ganja di belakang toilet.
Namun, sepertinya nasib burukku belum berakhir sampai disini. Baru kusadari angin malam telah menuntunku kearah yang salah. Aku mengeluh lantas kembali melangkah dikegelapan sembari memasukan kedua tangan ke dalam baju. Jangan tanyakan buku-buku pemberian orang suci itu! Sudah kubuang kedalam sumur sedari tadi.
Sayup-sayup tak lama kemudian suara kicauan burung hantu tergantikan oleh derikan jangkrik dan lantunan sebuah lagu jawa yang tak kupahami artinya. Kepalaku menoleh mencari asal suara itu yang kutebak dinyanyikan oleh seorang lelaki tua.
Namun, perkiraanku salah. Tampak seorang pemuda seusiaku dengan lentera kecil ditangannya sedang menatap dengan sorot mata yang tak bisa kuartikan.
“Hei! Apa yang kau lakukan disini? Tak taukah kau daerah ini sangat berbahaya jika kau datang sendiri?!” teriaknya yang langsung membuatku menutup telinga.
“Ayolah kawan! Aku adalah orang baru yang tersesat, tak bisakah kau antar saja diriku kejalan yang benar. Bahkan kau juga datang sendirian,’’
Lelaki itu hanya diam. Sejenak dia berpikir, sepertinya sedang mengingat-ingat seragam santri pondok mana yang ku pakai. Dan akhirnya dia tau kalau aku adalah seorang pelajar rantau.
Sejam kemudian akhirnya aku tau nama lelaki yang meneriakiku tadi. Namanya Maher dan ia mengaku pernah menjadi santri yang kemudian tinggal di daerah situ. Dan kali ini ditawarinya aku pergi kerumah kayunya. Mukjizat apa yang menimpaku hari ini, akhirnya aku terbebas dari perintah-perintah aneh para orang-orang suci yang menyuruhku belajar dan membaca buku. Ah! Tenang sudah aku bisa bersantai semauku.
Begitu ku masuki rumahnya, aku terkejut mendapati banyaknya buku-buku bersarang seperti memang mereka hidup disitu.