Mohon tunggu...
Wahyudi Nasution
Wahyudi Nasution Mohon Tunggu... -

Wirausaha, Pekerja Sosial, dan Pemerhati Budaya, tinggal di Klaten

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kafir

5 Maret 2019   22:01 Diperbarui: 6 Maret 2019   04:49 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bakda maghrib, hujan masih cukup lebat. Terdengar suara ketukan di pintu depan, rupanya ada tamu, entah siapa.  Ndreres Quran pun harus kuakhiri meski baru dapat dua rukuk.

"Assalaamu'alaikum.....," terdengar suara salam begitu kubuka pintu. Ternyata Sasa sudah duduk manis di kursi depan.

"Teruskan saja dulu ngajinya, Om. Saya tak nyadhong ganjaran ikut nyimak di sini," kata Sasa

"Sudah selesai kok, Sa, besok lagi," jawabku sambil ikut duduk. "Dari mana hujan-hujan begini?"

"Dari rumah, Om. Memang sengaja ke sini habis maghrib biar bisa ketemu Sampeyan.

"Ngopi, Sa?"

"Siap, Om. Dingin-dingin begini memang enaknya ngopi."

Kebetulan ini hari Sabtu, Cahya anakku lanang pulang dari Jogja sore tadi. Ketika kupanggil untuk menyalami Pakdhe Sasa,  dia pun paham apa yang harus dilakukannya: membuatkan unjukan kopi kental manis. Tak berapa lama, dua gelas kopi pun sudah tersaji di hadapan kami.

"Monggo diunjuk, Pakdhe."

"Yho, Cah Bagus. Sini, duduk sini dulu ikut ngobrol sama Pakdhe."

Cahya pun ikut duduk. Kami menikmati suasana yang terasa tintrim karena hujan lebat sejak sore sambil ngopi. Aku paham, pasti Sasa pengin ngobrol seputar kegelisahannya, tapi sengaja aku diam menunggu dia membuka obrolan. Cahya pun hanya diam sambil membuka-buka HPnya.

"Om, aku tadi jadi imam sholat maghrib di mushola kampungku."

"Ya kan sudah biasa to, Sa?"

"Memang sudah biasa, Om. Tapi tadi setelah sholat aku diingatkan jamaah, anak-anak muda."

"Diingatkan apa?"

"Begini lho, Om, memang ilmu agamaku ini kan sangat pas-pasan. Hafalan surat dan ayat Al-Quran juga cuma sedikit."

"Terus..."

"Tadi kubaca surat Al-Kafirun dan Al-Ikhlas."

"Ya terus kenapa, Sa?"

"Kata jamaahku, besok-besok jangan lagi baca surat Al-Kafirun, katanya bisa bahaya."

"Kok bahaya? Apanya?"

"Katanya sekarang kita tidak boleh lagi menyebut 'kafir' pada orang-orang non-muslim. Katanya, baca surat Al-Kafirun itu pun sekarang kita harus hati-hati, Om."

"Pakdhe, itu pasti gara-gara orang hanya baca koran, berita tivi, atau postingan di medsos tentang hasil keputusan alim-ulama di Munas NU kemarin. Mereka belum membaca sendiri keputusan itu," Cahya ikut menanggapi. "Kalau pun sudah membaca, mungkin pikirannya sudah terlanjur tercemari bacaan di medsos. Maklumlah, Pakdhe, ini tahun politik. Jadi serba repot. Semua hal bisa jadi isu dan bola liar di masyarakat," lanjut Cahya yang kembali asyik dengan HPnya. Anak jaman sekarang, tampaknya cuek dan asyik dengan dirinya sendiri, tapi ternyata bisa juga merespon pembicaran orang.

"Jan-jane pripun to, Om? Apa memang seperti itu?"

"Yang mana?"

"Apa benar ada larangan menyebut 'kafir' bagi orang non-muslim?"

"Sa, itu pertanyaan sulit bagiku."

"Lha kok sulit, Om?" 

"Ya sulit, Sa."

"Maksudnya?"

"Begini lho, Sa, setiap keluarga tentu punya masalah dan kebiasaan yang sudah dipahami bersama. Setiap keluarga tentu juga punya aturan yang harus ditaati seluruh anggota keluarganya. Aturan di keluargamu tentu berbeda dengan aturan di keluargaku. Caramu memimpin keluarga tentu juga beda dengan caraku mimpin keluargaku. Iya, to?"

"Ya iyalah, Om. Benar sekali."

"Nah, tentu tidak elok kalau aku mengomentari urusan keluargamu, mengkritik caramu memimpin anak-bojo, apalagi mengejek keadaan rumah-tanggamu. Demikian juga Sasa, tidak elok melakukan itu ke keluargaku. Iya, kan?"

"Terus hubungannya dengan pertanyaanku tadi apa, Om?"

"Begini lho, Pakdhe," Cahya menyahut," Ayah ini kan bukan warga NU. Sebagai aktivis Muhammadiyah, tentu tidak elok kalau ayah ikut-ikutan mengomentari urusan yang Pakdhe tanyakan tadi. Iya to, Yah?" 

"Oh begitu, ya. Tapi keputusan itu kan sudah menyebar dan didengar oleh seluruh masyarakat, Le? Berarti sudah bukan hanya untuk warga NU, tapi untuk semua masyarakat dan bangsa Indonesia? Njur piye jal.....?"

Cahya cuma senyum-senyum tidak menjawab. Mungkin takut salah, atau memang sengaja diam biar ayahnya saja yang menjawabnya.

"Ngene lho, Sa. Kita  husnudhon saja bahwa keputusan para alim-ulama itu tentu sudah dengan kajian mendalam dari berbagai disiplin ilmu. Kita ambil sisi baiknya saja, bahwa kita jangan gampang mengkafirkan orang atau menyebut orang non-muslim sebagai 'kafir'. Tentu Sasa masih ingat ajaran orang tua, ngono ono yho ngono ning ojo ngono. Meski bagi kita mereka itu kafir, tapi gak usah bilang-bilang. Jarno wae. Ini demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, Sa."

"Wah kalau itu maksudnya saya jelas mathuk, Om. Tapi apa ada to orang Islam memanggil orang non-muslim ,'Hai, Kafir....', misalnya? Kan gak ada. Yho to, Le?"

"Kalau di sini memang gak ada, Pakdhe. Entah kalau di tempat lain."

"Jadi gak masalah kalau kita baca surah Al-Kafirun ya, Le?"

"Ya gak masalah, Pakdhe. Seluruh ayat Allah di Al-Quran kan harus dan perlu kita baca sebagai pegangan hidup."

Azan isya' terdengar bersahutan di seantero kampung. Hujan telah reda. Kami pun mengakhiri obrolan dan menuju masjid.

- Wahyu Nasution

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun