"Pakdhe, itu pasti gara-gara orang hanya baca koran, berita tivi, atau postingan di medsos tentang hasil keputusan alim-ulama di Munas NU kemarin. Mereka belum membaca sendiri keputusan itu," Cahya ikut menanggapi. "Kalau pun sudah membaca, mungkin pikirannya sudah terlanjur tercemari bacaan di medsos. Maklumlah, Pakdhe, ini tahun politik. Jadi serba repot. Semua hal bisa jadi isu dan bola liar di masyarakat," lanjut Cahya yang kembali asyik dengan HPnya. Anak jaman sekarang, tampaknya cuek dan asyik dengan dirinya sendiri, tapi ternyata bisa juga merespon pembicaran orang.
"Jan-jane pripun to, Om? Apa memang seperti itu?"
"Yang mana?"
"Apa benar ada larangan menyebut 'kafir' bagi orang non-muslim?"
"Sa, itu pertanyaan sulit bagiku."
"Lha kok sulit, Om?"Â
"Ya sulit, Sa."
"Maksudnya?"
"Begini lho, Sa, setiap keluarga tentu punya masalah dan kebiasaan yang sudah dipahami bersama. Setiap keluarga tentu juga punya aturan yang harus ditaati seluruh anggota keluarganya. Aturan di keluargamu tentu berbeda dengan aturan di keluargaku. Caramu memimpin keluarga tentu juga beda dengan caraku mimpin keluargaku. Iya, to?"
"Ya iyalah, Om. Benar sekali."
"Nah, tentu tidak elok kalau aku mengomentari urusan keluargamu, mengkritik caramu memimpin anak-bojo, apalagi mengejek keadaan rumah-tanggamu. Demikian juga Sasa, tidak elok melakukan itu ke keluargaku. Iya, kan?"