Mohon tunggu...
Wahyu Nanda Sari
Wahyu Nanda Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Mahasiswa Universitas Islam Sultan Agung Semarang | Alumni Kelas Beasiswa Timah Learning Center SMAN 1 Pemali | Duta Anak Kab. Bangka Selatan 2016 | Purna Jambore Nasional X 2016 | Purna Kemah Budaya Nasional VII 2016 | Purna SWBB Nasional 2018 | Purna KEPAKNAS V 2019

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Karno & V. Bullwinkel

5 Januari 2023   11:49 Diperbarui: 5 Januari 2023   12:21 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KARNO & V.BULLWINKEL 

Oleh Wahyu Nanda Sari

" Bisakah aku bertemu dengan-mu? walaupun hanya sebatas mimpi dengan obrolan teman secangkir kopi. Antara Aku, Mereka, dan Bangsa-mu."

ni persoalan tentang sepucuk surat kecil, singkat, dan sedikit penting bagiku. Pemali membuka jalan untuk pulang ke negeri kesadaran dan menjauhi negeri kelahiran. Jauh dari ujung selatan pulau Bangka hingga ke ujung Baratnya. Lagi-lagi tentang kisah perjalanan yang takkan habis ku bicarakan. Tiga jam sudah arloji lama menunggu, bahkan terlalu lama. Tapi menurutku ini hal yang biasa, baik negeri Barat maupun Selatan sama sahaja (penat).

Gerbang negeri Sejiran Setason untuk pertama kalinya mata memandang, melangkahkan kaki dan menapaki kota tertua di pulau Bangka. (malu) aku jadi orang Bangka, tak pernah tau asal darahku darimana, kapan, dan bagaimana prosesnya. Sejarah panjang yang aku jumpai di salah satu gedung tua kota Muntok -HOOFDBUREAU- seperti itulah ejaan yang terpajang di depannya. Menariknya, didalam gedung tua itu adalah peninggalan barang-barang bersejarah sejak bertahun-tahun silam. 

Tertulis -ANNO 1915- pelengkapnya, bisa disimpulkan gedung itu berdiri pada tahun tersebut. Aku tahu aku belum lahir, bahkan ayahku, ibuku, ataupun kakekku. Entahlah itu sudah sangat lama, lama sekali. Langkah pertama di pintu pembuka, bagaikan alam menyapa dan mengucapkan selamat datang kepadaku. Bersejarah sekali bukan? Aku tersentuh, sungguh. Ukiran khas masa-masa penjajahan dulu. Belum modern tapi tidak kusam, terjaga, terawat, dan akan tetap diabadikan. The heritage city of Muntok  adalah gallery pertama yang ku temukan di papan pembelajaranku hari itu. 

Bukan papan kelas yang dipenuhi dengan spidol dan penghapus yang sewaktu-waktu bisa dihapus dan kemudian ditulis kembali (bukan). Papan ini tertulis sejarah yang sama sekali belum aku ketahui, tidak bisa ditulis ulang, ataupun dihapus dari ingatan. Tulisan-tulisan itu akan tetap permanent dan tidak butuh spidol untuk menggantinya. 

Kau tahu ? Muntok, atau disebut dengan negeri Mo-Ho-Hsin pada abad ke 14-15 masih dinaungi oleh kerajaan Majapahit, bahkan kerajaan ini sudah dua kali mengirim ekspedisinya ke Bangka. Yang pertama dipimpin oleh Gajahmada dan selanjutnya oleh Tumenggung Dinata. Kemudian setelah gallery pertama kubaca, Aku (mulai) bangga jadi orang Bangka, sepenting itukah dulu tanah kelahiranku dimata sejarah.

Papan berikutnya masih berisi tulisan-tulisan penjelas yang menjadi saksi nyata sejarah (Bangka-ku). Abad ke-20 mulai memasuki masa pemerintahan Sukarno-Hatta. Kau tahu bukan ? Bung Karno dan Hatta pernah singgah disini. Tepatnya di Pesanggrahan Menumbing dan Wisma Ranggam Muntok. Nanti akan kuperjelas, aku sudah mengunjungi tempatnya (tunggu saja).

Ruang berliku selanjutnya ialah pengenalan tentang adat  budaya Bangka yakni kain cual yang memang kain khas dan kebudayaan yang aku miliki, (maaf) bukan aku, tapi kamu, kalian, Bangka, bahkan Indonesia yang memilikinya oleh karenanya harus tetap dijaga, dilestarikan, dan dikenalkan dengan masyarakat luar daerah.

 You know what ? sebenarnya aku juga tidak tahu bahwa kain "CUAL" adalah akronim dari "Celupan Awal". Menarik bukan? Ternyata aku juga baru tahu ini. Kain ini asalnya dari kesultanan Palembang dan pembuatnya ialah para Bangsawan Palembang makanya coraknya sangat mirip dengan kain disana. Singkat cerita kemudian kami diajak mengenal timah, mulai dari sejarah penambangan, sampai macam-macam jenis timah beserta nama kimianya.

Aku punya satu kesan menarik di penghujung pembelajaranku di gedung itu, yakni ruang likuan terakhir yang menceritakan tentang PD II. Aku tertarik dengan salah satu nama yang tercantum disana. Sejarahnya, ruangan itu dibuat khusus untuk menghormati dan mengenang tokoh yang satu ini. Namanya adalah Sister Lt.Vivian Bullwinkel. Tokoh pejuang wanita yang memiliki semangat baja. Beliau memang bukan orang Indonesia, tetapi semangat beliau bisa menjadi teladan untuk para perempuan-perempuan Indonesia bahkan mungkin dunia. 

Vivian Bullwinkel ialah perawat Australia yang pada saat PD II masih dikuasai oleh Jepang, Vivian berlayar dan hendak menyelamatkan orang-orang yang terluka saat perang. Akan tetapi ditengah berlayar kapal para perawat yang salah satunya adalah Vivian dibom dari udara oleh tentara Jepang, dan bersyukurnya vivian dan 21 perawat lain yang selamat segera berenang ke arah Muntok dengan panduan mercesuar di Tanjung Kalian. Sampainya di Muntok, V.Bullwinkel ditangkap kembali oleh tentara Jepang dan dibawa ke pantai Raji untuk berdiri mengahadap ke  laut dan di hukum mati dengan cara ditembak. 

Dewi fortuna kembali menghampiri vivian, ia selamat dari tembakan dan kemudian berenang kerumah-rumah penduduk, tetapi para penduduk takut untuk menyelamatkan vivian. Alhasil vivian pun akhinya dibawa dan diserahkan kembali kepada Jepang dan ditempatkan di camp wanita. Setelah keluar dari camp tersebut, Vivian kembali ke Australia dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya disana. (tragis).

Selang waktu berlalu dengan matahari yang kian memutar tepat di atas sana, sudahlah adzan berkumandang dan kewajiban dilaksanakan, usai itu tujuan selanjutnya ialah bukit yang tinggi yakni pesanggrahan Menumbing. Tinggi sekali, curam, tapi masih sangat asri. Indah nian ciptaan yang kuasa, kalimat yang berulang-ulang terlontar sepanjang perjalanan. 

Decak kagum bergetar berhasil membangkitkan bulu kuduk kami. Berdiri menopang kaki di puncak bukit bersejarah. Yang aku banggakan ialah dulu, kaki karno juga pernah menapak ditempat yang sama denganku. Pak, walaupun mata kita tak pernah saling memandang, tetapi kaki kita pernah berpijak di satu ladang pesanggrahan, lintas waktu dan perubahan tak akan pernah mengecilkan hati kami, engkau, dan mereka untuk terus membangkitkan semangat juang anak-anak perantauan demi proses di masa depan. (impian/angan)

Frekuensi suara udara pun sudah mulai tersamarkan karena ketinggiannya, 270 MDPL adalah angka setengah perjalanan kami, Gazebo 1-7 yang harus kami lewati dengan medan yang memberikan misteri ada apakah didepan sana.  Mitos dan mistis disini sudah mulai telihat walaupun samar-samar. Penduduk Muntok bagaikan aplikasi langsung sarana pencarian  informasi, tak perlu ketik, kuota, dan pulsa untuk mendapat informasi gratis. Inilah tempatnya, penduduk yang memang masih benar-benar menjaga kekayaan moyang. 

Kau tahu ? aku dan ketujuh temanku berada di satu mobil yang akan mengantarkan kami ke puncak Menumbing. Bertemu dengan beliau, salah satu penduduk kota Muntok yang memberi isyarat akan kebenaran mitos dan mistis daerah ini. "Ada mata untuk melihat, dan ada telinga untuk mendengar". Aku faham akan makna tersirat dari kalimat itu, sudahlah ini hubungan antara pencipta dan makhluk ciptaannya, kau dan aku hanya perlu sekadar mengetahuinya dan jangan pernah bermaksud untuk mencampuri urusannnya. (aku sangat tak suka akan hal itu)

Akhirnya aku berhasil menapakkan kaki dan berdiri 445 MDPL. Memasuki ruang liku tempat Karno bersinggah, sejarah usang yang sekarang hanya menjadi kenangan dan berhasil terjamah. Aku berdiri di puncak Menumbing dan bisa dengan leluasa memandang Indahnya Pulau Bangka dari ketinggian, ditemani dengan 4 pasang bendera Merah putih yang tetap berkibar di sudut-sudut tua bangunan tinggi di atas puncak Menumbing. 

Aku bangga, benar-benar bangga dengan sejarah yang tertuang dalam Bangsa-ku, Bangka-ku, dan juga Kisah-ku hari ini. Bolehkah aku meminta untuk memutar kembali sejarah itu ? agar aku dan bangsamu pandai bersyukur atas nikmat Tuhan dan keringat hasil kerja kerasmu demi kemerdekaan kami. (Karno)

Malam masih setia menemani kami menuju langit pemali. (kami kembali) bukan untuk menghentikan mimpi dan sebatas perjalanan yang hanya menjadi omongan dan terpendam dalam diam, (tidak) ini akan menjadi kisah menarik yang tak akan pernah bisa dilupakan atau hanya sebatas secercah bayangan hitam.

Terima kasih atas semua pihak yang membentuk tali dan memulai kembali menghidupkan api semangat kami disini. Allah swt, orang tua, PT.Timah Tbk, dan segala elemen yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Ini hanya secarik kertas, secercah harapan yang hanya bisa teraplikasikan dalam balutan aksara tinta hitam. Indonesia sudah menorehkan sejarahnya, sekarang giliranmu untuk menorehkan sejarahmu itu kepada indonesia. (salam rindu dari seorang pengagum Karno & V.Bullwinkel dibawah langit pemali 2019, aku janji untuk kembali)

-WNS-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun