Islam dan Pancasila Bukan Komoditas
Kata “Islam” dan “Pancasila” mendadak dominan di dalam hampir setiap perbincangan publik. Terutama di ruang media sosial, kedua kata itu seakan telah berhasil memonopoli pilihan kata. Islam dan Pancasila menjadi semacam trending topic dalam wacana keseharian masyarakat Indonesia. Bukan saja para ulama dan politisi, mulai dari pejabat negara, aktivis, hingga pengangguran, pun mendadak bicara Islam dan atau Pancasila.
Memang tidak ada salahnya berbicara Islam dan Pancasila, apalagi jika disertai dengan perilaku hidup yang islami dan atau pancasilais. Belakangan ini, jika menyimak keterangan dari setiap kedua kata itu diungkapkan, persoalannya terletak pada adanya kecenderungan dalam memperlawankan Islam dan Pancasila. Apabila kecenderungan tersebut adalah nyata, maka bangsa ini tengah dihadapkan kepada dua masalah baru.
Komoditisasi
Seorang ilmuwan terkemuka pernah menuliskan kritiknya terhadap suatu modus produksi masyarakat. Kritik itu ia paparkan diantaranya melalui uraian panjang tentang komoditas dan cara kerja akumulasi kapital. Tentang komoditas, ia tidak terang-terangan menyebut agama, ideologi atau yang sejenisnya sebagai komoditas. Ia hampir murni berangkat dari kondisi-kondisi material, yang karena itulah pendekatannya disebut sebagai materialisme. Jadi, materialismenya itu lebih sebagai pendekatan pengetahuan (epistemologi), bukan pemahaman keberadaan (ontologi) sebagaimana yang selama ini sering disalahpahami.
Kehidupan berkembang, begitu juga dengan modus produksi yang senantiasa me-relevan. Komoditas bukan lagi barang-barang material yang merupakan hasil kerja manusia, keuntungan tidak saja berupa uang atau nilai lebih yang dapat diuangkan, dan uang bukan lagi sebagai satu-satunya alat tukar. Komoditas adalah segala sesuatu yang dapat dijual dan menguntungkan. Kepentingan menjadi alat tukar yang semakin relevan.
Jika dilihat secara jernih dan dinilai dengan jujur, strategi yang dipakai dalam berpolitik belakangan ini telah menjadikan Islam dan Pancasila sebagai komoditas. Pada Pilkada DKI Jakarta di tahun 2017 ini misalnya, Islam telah benar-benar dijadikan sebagai komoditas utama demi meraih keuntungan dalam wujud kekuasaan.
Begitu juga saat Pilkada telah usai, Pancasila kembali didudukkan sebagai jargon utama dalam melawan apa yang disebut sebagai sikap intoleran, anti kebhinekaan dan radikalisasi. Pada kondisi yang demikian, Islam dan Pancasila tidak lebih hanya sebagai bungkus dari tujuan-tujuan yang justru bertolak belakang dengan nilai-nilai di dalamnya. Islam dan Pancasila diobral dengan serendah-rendahnya demi keuntungan dua kongsi dagang besar yang sedang bertarung.
Jika di dalam sistem (ekonomi) kapitalisme buruh adalah korban yang tidak berdaya dan terus ditidakberdayakan, maka di dalam politik yang menjadikan Islam dan Pancasila sebagai komoditas, rakyat adalah korban yang terus-menerus diperalat dan dibiarkan berada dalam seluruh kerawanannya.
Konflik Sosial
Beberapa waktu yang lalu berlangsung demonstrasi atau aksi serial yang melibatkan masa cukup banyak. Tidak berselang lama, berlangsung juga aksi serupa yang juga melibatkan masa cukup banyak. Beda dari kedua aksi tersebut adalah aktor dan kepentingan yang melatarbelakanginya. Aksi-aksi tersebut mengusung isu yang sangat beragam, mulai dari “bela ulama” hingga “bela agama”, mulai dari apresiasi sampai kriminalisasi. Kondisi tersebut, tanpa perlu menghadirkan ilmuwan sosial-politik sekaliber Ibnu Khaldun atau Max Weber, dengan sendirinya ia telah menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia telah kembali terbelah. Belahan-belahan yang mengaku Islam dan yang dituduh anti Islam, atau bagian yang mengaku Pancasilais dan yang dituduh anti Pancasila.