Ku semai sejuta intuisi dalam lapisan aksioma berantakan
lama mengotak atik otak
Ku lantun secarik kekawin yang bisa bicara
meski sombong, tak mau pakai bahasa manusia
Ku bangun tokoh-tokoh penuh teka-teki
 kadang turun, naik, baik, atau semauku saja
Ku semai ujar-ujar kata sejajar logika,
atau sekedar ungkapan tolol tak bernalar
Aku pribadi penuh sandiwara mata
menari bebas di atas selembar kertas
Bukan coretan aksara dua puluh enam alfabet
hanya sedikit yang benar mau dipakai
Adalah aku yang tak kunjung reda mencintai pena
adalah aku yang tak lelah memadu aksara meski terkesan buang waktu
Mencambuk makna agar sampai tujuan dengan kereta rima Â
ada juga basa basi belaka agar tak kosong di akhir cerita
Lebih dari buih hampa, kupadu makna penuh rerasa
manis, pahit, kecut, bisa jadi juga hambar
Mengajak menyelam kata ke alam bawah sadar
menyaksikan pitutur melambai dalam bait yang bermajas seenaknya
Meski singkat, padat, tak butuh norma
berharap saja menyusup ke ruang bisu manusia
Meronce syahdu bersama senja, bunga, kenangan, kopi pahit
juga aroma kehidupan
Romantis dalam ungkapan sarkas, sekali-kali mengumpat
bodo amat, siapa pula mau mengadili  Â
Aku hanya melukis kakawin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H