Mohon tunggu...
Wahyu Kuncoro
Wahyu Kuncoro Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca di saat ada waktu, penulis di saat punya waktu.

Seorang suami dan ayah 1 anak, tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Robohnya" Perpustakaan Kami

17 Mei 2021   12:29 Diperbarui: 17 Mei 2021   12:46 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini adalah Hari Buku Nasional (Harbuknas). Tanggal 17 Mei dipilih sebagai Harbuknas bertepatan dengan momentum hari berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Penetapannya dimaksudkan untuk dapat menumbuhkan budaya atau meningkatkan minat membaca (dan menulis) di kalangan masyarakat.

Dilaporkan oleh Puslitjakdikbud dalam Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi (2019), ada 4 dimensi sebagai tolok ukur, yaitu kecakapan, akses, alternatif, dan budaya. Dari semua dimensi, hanya dimensi kecakapan saja yang sudah cukup baik di masyarakat.

Mengoreksi Mitos Belajar

Dari ilustrasi di atas, memperbaiki budaya literasi, secara lebih sempit literasi membaca, bukan hal mudah. Nyatanya, selama 19 tahun, budaya literasi kita tak kunjung membaik. Dengan demikian, fokus perbaikannya perlu diarahkan kepada generasi saat ini. Anak-anak sekolah sejak dini perlu didorong untuk menyukai aktivitas membaca.

Berbagai "gerakan" membaca yang dialamatkan kepada orang dewasa akhirnya hanya jatuh sebagai selebrasi saja. Kita punya jenis "budaya" lain yang masih kental, yaitu melakukan sesuatu hangat-hangat tahi ayam. Budaya ini dulu yang kita kelola untuk diubah bagi anak-anak kita.

Membaca harus kita kenalkan sebagai kegiatan menyenangkan. Dengan demikian, kegiatan bisa lebih berkelanjutan bagi anak-anak. Dalam konteks anak, kegiatan membaca menyenangkan tentu bisa dipantik dengan membaca buku fiksi (cerita anak), bukan buku teks pelajaran. Tantangannya, belajar sebagai aktivitas kognitif dianggap afdol kalau yang dibaca adalah buku teks pelajaran.

Bagi anak-anak, kegiatan membaca akrab dilakukan di sekolah. Bahan bacaan yang dikonsumsi selalu berorientasi pada buku-buku pelajaran sesuai kurikulum. Anak-anak akan disebut  belajar ketika mereka membaca buku-buku pelajaran tersebut. Ketika mereka membaca buku-buku fiksi (cerita anak), mereka tidak disebut belajar. Mereka hanya dianggap sedang mengisi waktu luang untuk kesenangan.

Sekolah sangat berhasil membangun mitos belajar yang mengesampingkan buku-buku fiksi. Slogan "Buku adalah jendela dunia" yang begitu popular di telinga kita mengartikulasikan cara pandang yang sebenarnya mengkhawatirkan. "Jendela dunia" yang dimaksud adalah hal-hal yang memberi informasi, ilmu, dan pengetahuan sebagaimana dijabarkan di dalam kurikulum.

Pengalaman saya  bertemu dengan banyak pendidikan, sedikit sekali saya menemukan pendapat yang mengkorelasikan membaca dengan mengasah imaginasi atau meningkatkan critical thinking. Sepertinya masih ada anggapan umum bahwa belajar menjadi inklusif sebagai aktivitas mengoleksi pengetahuan.

Anak-anak yang berhasil adalah mereka yang menjadi nasabah yang menabung pengetahuan dari buku teks pelajaran (banking system of education). Pendidikan yang dilandasi semangat seperti itu akan menggerakkan aktivitas di perpustakaannya sebagai beban. Anak-anak berkunjung ke perpustakaan karena ada tugas. Kebiasaan membaca berkelanjutan tidak terjadi.

Hal ini menjawab permasalahan kenapa minat baca masyarakat rendah. Masyarakat yang sudah selesai sekolah tidak perlu membaca lagi. Mereka tidak perlu bersusah-payah mengumpulkan pengetahuan lagi. Belajar bukan terjadi sepanjang hayat, tetapi sepanjang bersekolah formal.

Perpustakaan "Roboh"

Perpustakaan sekolah seringkali kurang mendapat perhatian. Persoalan dimensi akses bermula di sini. Jika kita masuk ke perpustakaan sekolah, kita bisa dibuat begitu miris melihat koleksi buku-bukunya. Bisa dipastikan bahwa koleksi buku-buku pelajaran jauh lebih banyak daripada buku-buku fiksi.

Tentu saja pihak sekolah tidak salah. Kebijakan pembelanjaan buku tidak dengan tegas memberi porsi yang bijaksana bagi keberadaan buku-buku fiksi. Dalam Juknis penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tidak disinggung tentang pengadaan buku fiksi.

Jika buku fiksi termasuk dalam kategori buku non teks, aturannya pun semacam sunnah, bisa dibeli bisa tidak. Berikutnya, pembeliannya melewati ketentuan "telah dinilai dan ditetapkan oleh Kementerian atau Pemerintah Daerah". Kebijakan tersebut malah menunjukkan pertentangan di dalamnya. Di satu sisi bermaksud mendukung pengembangan literasi, di sisi lain memberi ketentuan yang sangat rigid.

Padahal, di luar itu ada lagi buku-buku pengayaan. Buku-buku jenis inilah yang menjadi prioritas belanja berikutnya. Buku-buku fiksi? Ya, dibeli dengan anggaran yang tersisa. Tentu saja dengan dana yang sangat terbatas. Itu pun jika ada 'belief' bahwa buku-buku fiksi dirasa perlu dalam mendukung kegiatan belajar mengajar.

Kenyataanya, pembelanjaan buku teks pelajaran terus berlangsung tiap tahun karena menjadi keharusan. Buku-buku itulah yang kemudian memenuhi perpustakaan dan menjadi koleksi utamanya. 

Siapa yang akan membaca dan meminjamkan buku-buku tersebut jika sepanjang waktu di sekolah adalah belajar? Anak-anak membutuhkan bahan bacaan lain untuk rehat dari belajar. 

Kebutuhan ini yang tidak terpenuhi oleh mereka. Apalagi, tidak ada ketentuan dalan juknis bahwa buku fiksi harus dibeli dengan ketentuan anggaran pasti.

Eksistensi perpustakaan antara ada dan tiada. Secara fisik ada, tapi secara fungsional tidak ada. Secara substansial, perpustakaan "roboh". Perpustakaan lebih berfungsi sebagai gudang buku atau tempat menyimpan buku. 

Untuk disebut sebagai ruang koleksi buku juga tidak layak karena tidak mencerminkan variasi genre buku yang memadai. Buku-buku fiksi dianggap tidak berarti. Aktivitas membaca dan meminjam buku juga nyaris alpha.

Perpustakaan "roboh" karena kehilangan fungsi utamanya atau tidak berusaha menjadi berfungsi sebagaimana mestinya. Di negeri ini, perpustakaan SD/Madrasah yang terdata ada sekitar 61,45 persen dari seluruh jumlah sekolah. Namun, hanya 19 persen saja yang kondisinya baik. (Statistik Pendidikan Dasar dan Menengah 2016/2017, Kemendikbud).

Rupanya, idea mengenai "kondisi baik" perpustakaan masih berkutat pada fisik bangunan dan segala hal berkaitan administrasi perpustakaan. Tentang bagaimana perpustakaan dengan "kondisi baik" yang bisa memotivasi anak-anak gemar membaca, termasuk memberi ruang lebih luas untuk buku fiksi, belum menjadi agenda besar pengembangan perpustakaan sekolah.

Pada Hari Buku Nasional ini, setelah 19 tahun memperingatinya, mengangkat kasta paria buku fiksi ke perpustakaan sekolah untuk bersanding sederajat dalam kebijakan pembelanjaan buku menjadi penting. Kebijakan pusat untuk tidak mengutamakan buku teks pelajaran saja menjadi langkah baik untuk menumbuhkan minat baca anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun