Perpustakaan "Roboh"
Perpustakaan sekolah seringkali kurang mendapat perhatian. Persoalan dimensi akses bermula di sini. Jika kita masuk ke perpustakaan sekolah, kita bisa dibuat begitu miris melihat koleksi buku-bukunya. Bisa dipastikan bahwa koleksi buku-buku pelajaran jauh lebih banyak daripada buku-buku fiksi.
Tentu saja pihak sekolah tidak salah. Kebijakan pembelanjaan buku tidak dengan tegas memberi porsi yang bijaksana bagi keberadaan buku-buku fiksi. Dalam Juknis penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tidak disinggung tentang pengadaan buku fiksi.
Jika buku fiksi termasuk dalam kategori buku non teks, aturannya pun semacam sunnah, bisa dibeli bisa tidak. Berikutnya, pembeliannya melewati ketentuan "telah dinilai dan ditetapkan oleh Kementerian atau Pemerintah Daerah". Kebijakan tersebut malah menunjukkan pertentangan di dalamnya. Di satu sisi bermaksud mendukung pengembangan literasi, di sisi lain memberi ketentuan yang sangat rigid.
Padahal, di luar itu ada lagi buku-buku pengayaan. Buku-buku jenis inilah yang menjadi prioritas belanja berikutnya. Buku-buku fiksi? Ya, dibeli dengan anggaran yang tersisa. Tentu saja dengan dana yang sangat terbatas. Itu pun jika ada 'belief' bahwa buku-buku fiksi dirasa perlu dalam mendukung kegiatan belajar mengajar.
Kenyataanya, pembelanjaan buku teks pelajaran terus berlangsung tiap tahun karena menjadi keharusan. Buku-buku itulah yang kemudian memenuhi perpustakaan dan menjadi koleksi utamanya.Â
Siapa yang akan membaca dan meminjamkan buku-buku tersebut jika sepanjang waktu di sekolah adalah belajar? Anak-anak membutuhkan bahan bacaan lain untuk rehat dari belajar.Â
Kebutuhan ini yang tidak terpenuhi oleh mereka. Apalagi, tidak ada ketentuan dalan juknis bahwa buku fiksi harus dibeli dengan ketentuan anggaran pasti.
Eksistensi perpustakaan antara ada dan tiada. Secara fisik ada, tapi secara fungsional tidak ada. Secara substansial, perpustakaan "roboh". Perpustakaan lebih berfungsi sebagai gudang buku atau tempat menyimpan buku.Â
Untuk disebut sebagai ruang koleksi buku juga tidak layak karena tidak mencerminkan variasi genre buku yang memadai. Buku-buku fiksi dianggap tidak berarti. Aktivitas membaca dan meminjam buku juga nyaris alpha.
Perpustakaan "roboh" karena kehilangan fungsi utamanya atau tidak berusaha menjadi berfungsi sebagaimana mestinya. Di negeri ini, perpustakaan SD/Madrasah yang terdata ada sekitar 61,45 persen dari seluruh jumlah sekolah. Namun, hanya 19 persen saja yang kondisinya baik. (Statistik Pendidikan Dasar dan Menengah 2016/2017, Kemendikbud).