Kado itu tampak biasa: sebuah bola. Diego mendapatkan hadiah itu pada ultahnya ke empat. Sejak itu, selama enam bulan, ia membawanya setiap kali tidur karena takut seseorang mengambilnya. Ia tidur dengan menyembunyikan bola pemberian sepupunya itu di dalam kaosnya.Â
Tak pernah saya mendengar cerita kedekatan yang begitu mesra antara seorang anak dengan bola. Mungkin ia memang ditakdirkan untuk sebuah percintaan dengan bola. Sepakbola adalah panggungnya. Di situ nasibnya. Mungkin ini yang terjadi dalam Diego bahwa ia adalah nasib itu: Amor fati, fatus est (Saya mencintai nasib, saya adalah nasib itu sendiri).Â
Diego, nama panggilan dalam keluarganya, akhirnya menjadi sebuah legenda. Di usianya ke sepuluh, pemandu bakat sepak bola menemukannya. Lantas, ia masuk ke tim di kotanya dan menjadi maskot. Di situ karirnya bermula. Diego kecil menjadi pusat perhatian.Â
Debut internationalnya sudah dimulai sejak usia 16 tahun. Ia mengantarkan Boca Junior menjadi juara Liga Argentina untuk pertama kalinya. Di FC Barcelona, ia mengantar timnya menjuarai Copa del Rey dan Piala Super Spanyol. Di Napoli, ia membawa timnya menjadi juara Seri A untuk pertama kalinya dalam sejarah.Â
Tapi, dari semua itu, pecinta sepakbola tak akan lupa Piala Dunia '86 di Mexico. Dua gol saat melawan Inggris merupakan dua sisi mata uang: gol 'Tangan Tuhan' dan gol solo-run. Gol pertama merupakan kelicikan Diego yang mencetak gol dengan bantuan tangannya, yang ia klaim sebagai bantuan Tuhan. Gol kedua menunjukkan kepiawaiannya bermain bola dengan waktu 10 detik melewati 5 pemain Inggris dalam jarak 60 meter.Â
Saya tertarik dengan dua gol itu. Tiap kali saya melihat ulang 2 gol tersebut (dan video-video lain tentang Diego), seolah-olah  Diego bisa 'mengendalikan' bola seperti yang ia inginkan.Â
Posisi Diego sebelum mencetak gol dengan tangannya harus saya katakan dalam posisi 'kalah'. Penguasaan bola seharusnya ada pada Peter Shilton, penjaga gawang Inggris. Bagaimanapun, duel di udara akan lebih menguntungkan pihak yang lebih tinggi, Â ditambah dengan keleluasaannya menggunakan tangan.Â
Terlepas ia menggunakan tangannya, posisi Diego yang nyelonong mendekati gawang sambil berlari terbang memberi kesan sendiri bagi saya. Posisi itu sangat sulit. Tapi, ada pergerakan dinamis yang mengagetkan.
Ada kecepatan yang Diego gunakan. Lagi, ia juga  pintar melihat ruang, membaca  gerak arah bola, lalu menentukan dalam waktu seper sekian detik untuk bergerak mencari datangnya bola. Barangkali ini yang Howard Gardner sebut dengan kecerdasan visual dan spasial.Â
Gol berikutnya harus saya sebut sebagai opus magnum. Melewati 5 pemain jangkung bukanlah hal enteng untuk sebuah pertandingan melawan Inggris. Ia melesat dengan bolanya hingga menjebol gawang.Â
Howard Gardner juga memperkenalkan kecerdasan kinestetik. Yang dilakukan Diego di lapangan hijau menunjukkan ia unggul dalam kecerdasan itu.Â
Kecerdasan kinestetiknya ditandai dengan kemampuannya mahami tubuh dan mengatur gerakan: dari tengah lapangan mengontrol bola, berputar mengelabuhi lawan, lalu menggiring bola melewati beberapa pemain, dan menjaga ritme berlari sambil menjaga keseimbangan.Â
Posturnya yang pendek mendekati gravitasi membantu kecepatannya berlari sambil menggiring bola. Ia memiliki semuanya dalam sepakbola. Ada catatan penting dari Cesar Luis Minotti pada saat Diego berusia 18 tahun. Pemandu bakat yang terkesima dengan Diego itu menyebut bahwa Diego memiliki kecerdasan lengkap, sense lengkap, visi bagus, dan kecepatan yang efisien dalam sepakbola.Â
Pengakuan Garry Lineker, Â pancetak gol terbanyak Piala Dunia '86, menegaskan sisi keistimewaan lain Diego. Ia pernah melakukan juggling selama 15 menit. Ia terus melakukan itu dari lorong hingga ke lapangan tengah. Sampai di tengah lapangan, ia menendang bola ke atas dengan kuat lalu melakukan lagi hingga 13 kali.Â
Ia butuh paling banyak 3 langkah mengejar bola. Tak ada pemain yang bisa meniru aksi Diego. Lineker melakukan 3 kali saja dengan berlari beberapa langkah. "Impossible," kata Lineker.Â
Diego tahu bagaimana memainkan bola. Tak ada yang mempunyai kedekatan mesra dengan bola seperti Diego. Kecerdasan kinestetiknya mumpuni. Kecerdasan visual dan spasialnya mendukungnya memainkan bola, mengisi sisi-sisi indah bermain bola.Â
Dan, sepakbola sebagai permainan membutuhkan energi lain. Minotti memberi penilaian lain menyangkut kondisi psikis Diego. Hasil penilaiannya menunjukkan: mental strength 10, power of suffering 10, concentration 10, selfish 0, personality 10.Â
Saya yang mengidolakan Diego akan mengoreksi penilaian Minotti: personality 9, mental strength dan concentration 11. Pengurangan 1 poin personaliti untuk Diego yang menggunakan tangannya untuk mencetak gol, penambahan 1 poin untuk konsentrasi yang luar biasa yang menentukan pergerakannya menyusup ke area gawang.Â
Dan, 1 poin lagi saya tambahkan untuk mental strength atas keberanian berduel dengan Peter Shilton yang diakhiri dengan kecepatannya membuat pilihan: mendorong bola dengan tangan karena kepalanya tak mungkin menjangkau.Â
Kita akhirnya tahu. Sejarah mencatat dengan cara lain. Ada sebuah atraksi licik dan keagungan dalam sebuah pentas. Â Dan, di situlah takdir. Mungkin cerita akan lain seandainya Peter Shilton bisa menepis bola atau mampu menangkapnya. Bagaimanapun ia ditakdirkan menjadi legenda. Solo-run golnya cukup membuktikan bahwa Diego memang dianugerahi bakat menakjubkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H