Kecerdasan kinestetiknya ditandai dengan kemampuannya mahami tubuh dan mengatur gerakan: dari tengah lapangan mengontrol bola, berputar mengelabuhi lawan, lalu menggiring bola melewati beberapa pemain, dan menjaga ritme berlari sambil menjaga keseimbangan.Â
Posturnya yang pendek mendekati gravitasi membantu kecepatannya berlari sambil menggiring bola. Ia memiliki semuanya dalam sepakbola. Ada catatan penting dari Cesar Luis Minotti pada saat Diego berusia 18 tahun. Pemandu bakat yang terkesima dengan Diego itu menyebut bahwa Diego memiliki kecerdasan lengkap, sense lengkap, visi bagus, dan kecepatan yang efisien dalam sepakbola.Â
Pengakuan Garry Lineker, Â pancetak gol terbanyak Piala Dunia '86, menegaskan sisi keistimewaan lain Diego. Ia pernah melakukan juggling selama 15 menit. Ia terus melakukan itu dari lorong hingga ke lapangan tengah. Sampai di tengah lapangan, ia menendang bola ke atas dengan kuat lalu melakukan lagi hingga 13 kali.Â
Ia butuh paling banyak 3 langkah mengejar bola. Tak ada pemain yang bisa meniru aksi Diego. Lineker melakukan 3 kali saja dengan berlari beberapa langkah. "Impossible," kata Lineker.Â
Diego tahu bagaimana memainkan bola. Tak ada yang mempunyai kedekatan mesra dengan bola seperti Diego. Kecerdasan kinestetiknya mumpuni. Kecerdasan visual dan spasialnya mendukungnya memainkan bola, mengisi sisi-sisi indah bermain bola.Â
Dan, sepakbola sebagai permainan membutuhkan energi lain. Minotti memberi penilaian lain menyangkut kondisi psikis Diego. Hasil penilaiannya menunjukkan: mental strength 10, power of suffering 10, concentration 10, selfish 0, personality 10.Â
Saya yang mengidolakan Diego akan mengoreksi penilaian Minotti: personality 9, mental strength dan concentration 11. Pengurangan 1 poin personaliti untuk Diego yang menggunakan tangannya untuk mencetak gol, penambahan 1 poin untuk konsentrasi yang luar biasa yang menentukan pergerakannya menyusup ke area gawang.Â
Dan, 1 poin lagi saya tambahkan untuk mental strength atas keberanian berduel dengan Peter Shilton yang diakhiri dengan kecepatannya membuat pilihan: mendorong bola dengan tangan karena kepalanya tak mungkin menjangkau.Â
Kita akhirnya tahu. Sejarah mencatat dengan cara lain. Ada sebuah atraksi licik dan keagungan dalam sebuah pentas. Â Dan, di situlah takdir. Mungkin cerita akan lain seandainya Peter Shilton bisa menepis bola atau mampu menangkapnya. Bagaimanapun ia ditakdirkan menjadi legenda. Solo-run golnya cukup membuktikan bahwa Diego memang dianugerahi bakat menakjubkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H