Gotong-royong tidak ada dengan sendirinya. Kebutuhan akan sesuatu yang harus digotong-royongkan memanggil setiap pihak terlibat. Seorang leader atau penggerak perlu hadir dalam gotong royong.
Nadiem ingin kelak dalam rentang waktu 2020-2022 akan ada peningkatan kompetensi kepada 50.000 guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan di 5.000 PAUD, SD, dan SMP agar mampu mendemonstrasikan kepemimpinan pembelajaran (instruksional leadership). Momentum merdeka belajar ini menjadi ajang bagi pihak non-pemerintah membangun praktik-praktik baik dalam pembelajaran kepada anak-anak.
Melibatkan mereka berarti memberi harapan bahwa kinerja mereka di bidang pendidikan perlu mendapat apresiasi dan disebarluaskan. Dalam hal literasi, misalnya, banyak lembaga yang telah menginisiasi program-program percepatan peningkatan literasi sebelum periode PISA mengumumkan lemahnya literasi di Indonesia.
Dalam hal sekolah ramah anak atau perpustakaan ramah anak, lembaga-lembaga non pemerintahlah yang terlebih dahulu menginisiasi.Â
Organisasi-organisasi tersebut telah membuat perpustakaan sekolah dengan membantu buku-buku yang bagus, melatih guru-guru mengajarkan pembelajaran membaca, dan melibatkan orang tua untuk mendukung minat baca anak.
Revolusi pendidikan Nadiem, kalau boleh disebut begitu, memikirkan sebuah keberlanjutan yang lebih bergairah. Organisasi penggerak akan menggerakkan sekolah-sekolah dengan berpartisipasi menyumbang best practice di tempatnya dan menjadi inspirasi bagi sekolah lainnya di sekitarnya.
Bukannya selama ini sudah ada praktik dengan penciptaan sekolah standar, sekolah model, sekolah rujukan, dan lainnya? Benar. Nyatanya, sekolah tersebut tak kurang dan tak lebih hanya bergelut dengan kegiatan administratif.Â
Dengan konsep yang beralih ke organisasi bergerak yang kemudian mengarah pada sekolah penggerak, konsep ini menjadi lebih aktif. Sebelumnya, yang terjadi adalah upaya setiap sekolah memoles diri menjadi cantik secara administartif tapi jauh dari esensi pendidikan per se.
Kemitraan yang Egaliter
Sikap yang diperlukan dalam melakukan gotong-royong adalah sikap ugahari. Konsep ini justru menjadi lebih humanis di tangan Nadiem yang mengajak untuk menjadikan organisasi non-pemerintah bukan sebagai liyan, yang tidak berhak masuk dalam lingkaran tata kolola pendidikan, dan perannya subordintat.
Namun, perkara ini pasti tidak mudah di daerah ketika organisasi-organisasi penggerak ini akan bermitra di kemudian hari. Dinas Pendidikan Daerah perlu juga untuk memahami konsep ini sebagai kolaborasi yang egaliter, yang menjadikan mitra dari non-pemerintah sebagai partner kerja yang setara.Â