Mohon tunggu...
Wahyu Hidayat
Wahyu Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (20107030059)

Hanya ada dua pilihan, menulis atau ditulis oleh sejarah

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Belum Quarter-Life, tapi Sudah Crisis? Ternyata Ini Penyebabnya

12 Juni 2021   18:18 Diperbarui: 17 Juni 2021   07:27 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usia 25 tahun itu idealnya udah punya rumah
Udah punya kendaraan roda empat
Udah punya tabungan 9 digit
Udah punya kerjaan dengan gaji sekian juta

Dan udah-udah lainnya

Demikian beberapa pernyataan yang sering penulis lihat di postingan akun-akun motivasi di Instagram. Sejenak penulis berpikir betapa banyaknya standar yang harus dipenuhi untuk dikatakan sebagai seseorang yang "Ideal" di usia seperembat abad, tak ayal banyak yang berada di fase Quarter Life Crisis jika dilihat dari standar yang telah diterapkan tersebut.

Sosial media memberikan standar bahagia yang berat untuk sebagian besar manusia, memberikan standar sukses yang berat pula untuk sebagian besar manusia dan tak terkecuali untuk mereka yang berada di fase Quarter Life.

Penulis sendiri sebenarnya belum menginjak usia Quarter Life, setidaknya butuh waktu 6 tahun lagi untuk berada di fase tersebut.

Namun jika melihat standar yang diberikan akun-akun motivasi di Instagram seperti itu, rasanya penulis dan beberapa teman di lingkungan penulis telah merasakan efek "Crisis" nya terlebih dahulu sebelum menginjak fase Quarter Life.

Sebagai generasi milenial yang tiap hari hidup di era digital ini memang udah nggak asing lagi sama apa-apa yang serba terkoneksi dengan dunia digital. Informasi dari ujung dunia yang dengan mudah didapatkan hanya mengscroll handphone dengan ujung jari ini ternyata juga dapat memberikan efek samping yang buruk.

Makanya mulai populer istilah seperti "insecure" yang dialami sebagian besar generasi muda karena kerap membandingkan pencapaian-pencapaian orang lain dengan pencapaian dirinya sendiri.

Sehingga kecepatan informasi yang seharusnya dapat digunakan dengan baik justru menjadi bumerang bagi para penggunanya dengan dihinggapinya "Social Media Toxic" yang sekaligus menjadi salah satu penyebab Quarter Life Crisis bagi kaum milenial.

Kenapa ada yang belum Quarter Life tapi udah Crisis?

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa banyak yang belum menginjak usia Quarter Life tapi sudah Crisis yang agaknya disebabkan oleh standar kesuksesan atau standar kebahagiaan yang didapatkan dengan mudah di sosial media.

Misalkan ketika scroll-scroll Instagram dan muncul postingan dari selebgram yang baru membeli mobil tesla diusianya yang baru 23 tahun salah satunya.

Setelah melihat postingan tersebut kemudian mulai muncul pikiran,

"Kapan ya punya mobil listrik gitu, sedangkan motorku bulan ini belum bayar cicilan"

Kemudian pindah lagi ke aplikasi yang lain yaitu tiktok, dan muncul lagi konten fyp dari kakak-beradik yang akhir akhir ini viral dengan konten nasi goreng 400 jutanya, yang sedang memamerkan rumahnya bak istana di film-film kartun.

"Kok bisa ya punya rumah kaya gitu, jangankan punya rumah, tinggal aja masih numpang"

Dan akhirnya kita mulai membandingkan pencapaian diri kita dengan orang lain. Kita sudah terbiasa mendengar, kalau kita lahir miskin itu bukan kesalahan kita karena bisa diubah (dengan bekerja keras).

Namun jika pada akhirnya kita tetap tidak kaya-kaya atau mencapai titik kesuksesan itu merupakan kesalahan kita sendiri.

Sebuah pemikiran yang (katanya) dicetuskan oleh Bill Gates ini memang dapat dijadikan sebagai motivasi, namun jika diteliti lebih dalam lagi faktanya bahwa keadaan tiap orang sangatlah berbeda.

Kita terbiasa mendengar hal-hal yang berbau from "zero to hero" yang pada kenyataannya tidak semua orang bisa mencapai hal tersebut dikarenakan privilage yang berbeda.

Source : dreamstime.com
Source : dreamstime.com

Ada yang di usia 20 tahun harus menjadi tulang punggung keluarga sehingga tidak bisa menggapai mimpinya, ada yang belum menyelesaikan pendidikan tapi sudah terhalang biaya, ada juga yang sudah menyelesaikan pendidikan yang tinggi namun masih kesulitan untuk mencari kerja. Sedangkan kebalikan dari itu, list standar kesuksesan  justru semakin banyak. 

Seseorang bisa dikatakan sukses jika seperti youtuber A, atau memiliki kekayaan seperti influencer B, dan lain sebagainya.

Padahal ya privilage semua orang berbeda dan tidak dapat digeneralisir, jika ingin dikatakan sukses mungkin salah satu anak artis juga bisa dianggap sukses karena memiliki privilage dari kedua orang tuanya.

Efek negatif seperti ini lah yang dapat menjadi salah satu penyebab Quarter Life Crisis tanpa kita sadari.

Terbiasa menjadikan sosial media menjadi sarana hiburan yang justru membuat Insecure diri sendiri, yang pada akhirnya membanding-bandingkan pencapaian diri sendiri dengan pencapaian orang lain.

Padahal jika melihat jauh kebelakang sebelum hadirnya internet, standar kesuksesan jauh berbeda dengan sekarang.

Dulu kalo ada orang yang kerjaannya cuma menanam padi dan makan dari hasil yang ditanam sendiri rasanya udah cukup.

Sekarang, di era sosial media yang hidup seperti itu justru merasa insecure, karena standar hidup yang makin tinggi. Jadi petani itu gabisa dianggap jadi pekerjaan yang sukses dan keren, standarnya yang keren ya harus jadi digital marketing, software engineer, youtuber, dan lain sebagainya pokoknya yang ada bahasa Inggrisnya.

Dulu, lulus kuliah persaingan untuk dapet kerja relatif masih mudah. Sekarang, lulus kuliah ga jadi pengangguran aja udah lebih dari cukup (karena setidaknya gak masuk 700 ribuan sarjana yang menganggur).

Setelah lulus kemudian bekerja diperusahaan dan dikontrak 3 tahun, umur 25 habis kontrak dan akhirnya bingung mau ngapain lagi, merenung sebentar, dan akhirnya sadar masuk ke fase Quarter Life Crisis.

Sederhananya, salah satu penyebab quarter life crisis meskipun belum menginjak usia quarter life adalah Social Media Toxic.

Jadi solusi terbaik adalah untuk mengurangi porsi sosial media yang tidak perlu dengan meng-unfollow akun-akun yang dapat menimbulkan rasa insecure dan stop untuk mengikuti standar-standar kehidupan yang ditetapkan orang lain. 

Karena setiap orang sudah memiliki perannya masing-masing, apa yang harus dilakukan adalah berbuat baik dan lakukan yang terbaik dengan cara kita sendiri.

Daripada berada di fase Quarter Life Crisis, kenapa tidak berubah dengan berada di fase Quarter Life Creative?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun