Seseorang bisa dikatakan sukses jika seperti youtuber A, atau memiliki kekayaan seperti influencer B, dan lain sebagainya.
Padahal ya privilage semua orang berbeda dan tidak dapat digeneralisir, jika ingin dikatakan sukses mungkin salah satu anak artis juga bisa dianggap sukses karena memiliki privilage dari kedua orang tuanya.
Efek negatif seperti ini lah yang dapat menjadi salah satu penyebab Quarter Life Crisis tanpa kita sadari.
Terbiasa menjadikan sosial media menjadi sarana hiburan yang justru membuat Insecure diri sendiri, yang pada akhirnya membanding-bandingkan pencapaian diri sendiri dengan pencapaian orang lain.
Padahal jika melihat jauh kebelakang sebelum hadirnya internet, standar kesuksesan jauh berbeda dengan sekarang.
Dulu kalo ada orang yang kerjaannya cuma menanam padi dan makan dari hasil yang ditanam sendiri rasanya udah cukup.
Sekarang, di era sosial media yang hidup seperti itu justru merasa insecure, karena standar hidup yang makin tinggi. Jadi petani itu gabisa dianggap jadi pekerjaan yang sukses dan keren, standarnya yang keren ya harus jadi digital marketing, software engineer, youtuber, dan lain sebagainya pokoknya yang ada bahasa Inggrisnya.
Dulu, lulus kuliah persaingan untuk dapet kerja relatif masih mudah. Sekarang, lulus kuliah ga jadi pengangguran aja udah lebih dari cukup (karena setidaknya gak masuk 700 ribuan sarjana yang menganggur).
Setelah lulus kemudian bekerja diperusahaan dan dikontrak 3 tahun, umur 25 habis kontrak dan akhirnya bingung mau ngapain lagi, merenung sebentar, dan akhirnya sadar masuk ke fase Quarter Life Crisis.
Sederhananya, salah satu penyebab quarter life crisis meskipun belum menginjak usia quarter life adalah Social Media Toxic.
Jadi solusi terbaik adalah untuk mengurangi porsi sosial media yang tidak perlu dengan meng-unfollow akun-akun yang dapat menimbulkan rasa insecure dan stop untuk mengikuti standar-standar kehidupan yang ditetapkan orang lain.Â