Misalkan ketika scroll-scroll Instagram dan muncul postingan dari selebgram yang baru membeli mobil tesla diusianya yang baru 23 tahun salah satunya.
Setelah melihat postingan tersebut kemudian mulai muncul pikiran,
"Kapan ya punya mobil listrik gitu, sedangkan motorku bulan ini belum bayar cicilan"
Kemudian pindah lagi ke aplikasi yang lain yaitu tiktok, dan muncul lagi konten fyp dari kakak-beradik yang akhir akhir ini viral dengan konten nasi goreng 400 jutanya, yang sedang memamerkan rumahnya bak istana di film-film kartun.
"Kok bisa ya punya rumah kaya gitu, jangankan punya rumah, tinggal aja masih numpang"
Dan akhirnya kita mulai membandingkan pencapaian diri kita dengan orang lain. Kita sudah terbiasa mendengar, kalau kita lahir miskin itu bukan kesalahan kita karena bisa diubah (dengan bekerja keras).
Namun jika pada akhirnya kita tetap tidak kaya-kaya atau mencapai titik kesuksesan itu merupakan kesalahan kita sendiri.
Sebuah pemikiran yang (katanya) dicetuskan oleh Bill Gates ini memang dapat dijadikan sebagai motivasi, namun jika diteliti lebih dalam lagi faktanya bahwa keadaan tiap orang sangatlah berbeda.
Kita terbiasa mendengar hal-hal yang berbau from "zero to hero" yang pada kenyataannya tidak semua orang bisa mencapai hal tersebut dikarenakan privilage yang berbeda.
Ada yang di usia 20 tahun harus menjadi tulang punggung keluarga sehingga tidak bisa menggapai mimpinya, ada yang belum menyelesaikan pendidikan tapi sudah terhalang biaya, ada juga yang sudah menyelesaikan pendidikan yang tinggi namun masih kesulitan untuk mencari kerja. Sedangkan kebalikan dari itu, list standar kesuksesan  justru semakin banyak.Â