"Sesuatu yang berlebihan itu nggak baik"
Sebuah kutipan yang sudah familiar di telinga orang -- orang ini agaknya memang sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam melakukan berbagai kegiatan, agar seseorang mengetahui "porsi" yang cukup untuknya.Â
Karena jika di aplikasikan dalam berbagai hal, melakukan suatu kegiatan secara berlebihan atau diluar "porsi" tersebut memang dapat memberikan berbagai dampak negatif, misalkan ketika makan secara berlebihan, tidur secara berlebihan, dan tak terkecuali juga bekerja secara berlebihan.
Bekerja secara berlebihan itu sendiri dapat menyebabkan budaya "Gila Kerja" atau biasa disebut dengan Hustle Culture. Tren ini mulai banyak digandrungi oleh generasi muda di berbagai negara seperti Amerika, Jepang dan tak terkecuali Indonesia. Jika mungkin masih banyak pekerja yang mencoba mencuri jatah cuti atau izin kerja maka tren ini sangat bertolak belakang dengan tipe pekerja seperti itu.
Di Jepang sendiri para pekerjanya sangat membenci cuti atau izin kerja, dengan presentase sebagian besar pekerjanya hanya mengambil setengah dari seluruh jatah cuti tahunan yang ada.Â
Mungkin tipe pekerja seperti itu terlihat baik apalagi dimata korporasi atau perusahaan, namun ternyata budaya "Gila Kerja" ini juga memberikan efek negatif terutama bagi pekerjanya itu sendiri. Apa saja kah itu? Mari mengenal Hustle Culture.
Hustle Culture merupakan sebuah gaya hidup dimana seseorang merasa bahwa dirinya harus terus bekerja keras dan hanya meluangkan sedikit waktu untuk  beristirahat, kesibukan berlebihan tersebut membuat masyarakat modern jadi kehilangan banyak hal berharga dalam kehidupannya karena hanya fokus untuk mendapatkan uang, jabatan, atau pencapaian bisnis yang cemerlang.
Orang yang terkena budaya Hustle Culture akan bekerja secara terus menerus dalam setiap waktu, entah itu hari biasa atau ketika hari libur sekalipun akan menuntut dirinya sendiri untuk bekerja. Karena dengan dia yang bekerja keras terus menerus, dia berpikir bahwasannya dia akan lebih cepat sukses ketimbang orang yang bermalas -- malasan, atau orang yang memiliki porsi kerja lebih rendah dibandingnya.
Penyebab dari fenomena ini biasanya adalah obsesi pada pekerjaan yang terlalu tinggi yang biasanya didasarkan pada gengsi. Gengsi yang meningkat saat bekerja di perusahaan yang "bonafide" atau ternama, gengsi yang meningkat karena ingin dianggap sebagai orang yang bekerja keras lebih keras dibanding yang lain sehingga memiliki peluang sukses yang lebih besar, gengsi untuk memenuhi gaya hidup yang semakin meningkat, dll.Â
Dampak dari Hustle Culture kerap ditemukan dalam kehidupan sehari hari, biasanya salah seorang teman atau kenalan di lingkungan yang ketika diajak untuk "meet up" atau "nongkrong" oleh teman -- temannya kerap beralasan sibuk bekerja. Biasanya mereka yang terkena tren ini akan merasa bangga akan kesibukannya, sehingga akan semakin bersemangat untuk menjadi seseorang yang sibuk.
Penyebab lain dari Hustle Culture juga adalah lingkungan kompetitif yang membuat semua orang berlomba menjadi yang tersibuk. Lingkungan kompetitif sebenarnya memiliki dampak positif yaitu dapat menjadi motivasi untuk mempacu diri agar terus berusaha menjadi yang terbaik, namun hal tersebut juga dapat menimbulkan hal buruk seperti kompetisi yang terlalu menjatuhkan, persaingan kerja atau bisnis yang tidak sehat, hingga dapat merusak pertemanan.
"Loh, bukannya bekerja keras itu baik?"
Bekerja keras memang baik namun dalam pengertiannya, budaya Hustle Culture sebenarnya berbeda dengan kerja keras atau workhard. Budaya Hustle Culture hanya diperuntukan untuk orang yang Workaholic bukan orang-orang yang Workhard atau bekerja keras.
Perbedaan antara Workaholic dan Workhard ada di bagian memporsir waktu kerjanya. Workhard adalah gaya hidup seseorang dalam bekerja yang dimana ketika seseorang itu bekerja, dia bisa memaksimalkan waktunya untuk bekerja agar tidak menyisakan pekerjaan yang belum selesai diluar waktu untuk bekerja. Orang yang bekerja secara workhard dapat mengetahui porsi waktu kerja nya dengan baik.
Sedangkan, Workaholic adalah gaya hidup seseorang yang lebih mementingkan pekerjaan daripada aspek kehidupan lainnya. Sehingga banyak aspek kehidupan yang ditinggalkan seperti hobi, hubungan pertemanan, hubungan persaudaraan, dsb.Â
Tidak sepenuhnya salah memang ketika seseorang memiliki prinsip Workaholic karena tiap individu (termasuk seseorang yang workaholic) memiliki cara masing -- masing untuk mencapai tujuannya, namun biasanya seseorang yang lebih mementingkan pekerjaan daripada aspek kehidupan lainnya akan memberikan dampak negatif bagi kesehatan fisik maupun mentalnya.
Budaya Hustle Culture sebenarnya memiliki kesamaan dengan budaya Karoshi di Jepang, yaitu istilah yang digunakan untuk orang-orang yang memiliki watak gila kerja yang berlebihan hingga menyebabkan gangguan kesehatan bahkan kematian.Â
Di Jepang sendiri masih terdapat anggapan bahwa lembur atau kerja hingga larut malam di kantor adalah bentuk dedikasi dan kesetiaan terhadap tempat mereka bekerja.
Bahkan sebagian besar masyarakat jepang juga membenci hari libur atau cuti, menurut angka dari pemerintahan Jepang, hanya 52% pekerja yang mengambil cuti tahunan dalam setahun.Â
Tak ayal, Fenomena Karoshi di Jepang ini menyebabkan gangguan kesehatan seperti penyakit seperti struk, gagal jantung, bahkan tak sedikit juga yang menyebabkan bunuh diri.
"Kemudian Apa Dampak Negatif dari Hustle Culture?"
1. Terkena Penyakit Fisik.
Memaksa diri untuk bekerja melebihi standar waktu bekerja tentu akan memberikan dampak negatif ke tubuh seseorang. Berkurangnya jam tidur dan pola makan yang tak teratur dapat menyebabkan beberapa penyakit berbahaya, meskipun mungkin para penggiat Hustle Culture yang rata-rata masih menginjak usia muda sehingga mereka belum merasakan dampak negatif pada tubuhnya, namun lambat laun pasti akan terasa dampaknya.Â
Dapat menimbulkan penyakit seperti, hipertensi, diabetes, penyakit jantung, infeksi kronis, hingga permasalahan pada metabolisme. Bahkan terdapat fakta di Jepang bahwa satu di antara lima pekerja berisiko meninggal karena kerja berlebihan.
2. Terkena Penyakit Mental.
Penyakit mental seperti anxiety, depresi, stress dapat ditimbulkan dari tren "gila kerja" ini. Sebuah studi dalam jurnal Occupational Medicine mengatakan bahwa orang dengan jam kerja yang lebih panjang, berapapun usianya, cenderung mengalami gangguan kecemasan, depresi, serta gangguan tidur.
3. Tidak memiliki "me time / quality time".
Budaya Hustle Culture ini bahkan tidak hanya merenggut "me time"Â atau waktu sendiri seseorang, hal ini dapat merenggut waktu bersama teman, saudara dan keluarga.Â
Padahal "me time"Â atau "quality time"Â akan sangat baik bagi kehidupan seseorang. Entah sekedar melakukan kegiatan menghibur diri seperti mendengarkan musik, menonton film, atau menikmati hobi atau kegiatan yang disukai. Hal-hal tersebut lah yang dapat memberikan dampak positif bagi mental seseorang dengan mengurangi dampak stress akibat pekerjaan.
Nah, berangkat dari hal tersebut, budaya Hustle Culture mungkin akan sangat baik jika diperuntukkan untuk mereka yang sedang dikejar "deadline", namun jika budaya ini dibiarkan secara berkepanjangan akan berefek negatif. Meskipun tak membenarkan juga tentang seseorang yang justru malas bekerja hingga mengambil izin atau cuti kerja yang berlebihan.
Don't be busy, just be productive.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H