Matahari terbit dengan semburat merah yang tidak biasa, menandakan awal dari hari yang akan penuh dengan ujian. Namaku Rama, dan aku bangun dengan perasaan gelisah yang tak bisa kujelaskan.
Aku melangkah keluar rumah, merasakan hawa panas yang sudah menunggu untuk menyambutku. Kota kecil kami di Indonesia biasanya tenang, tetapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda.
Di sekolah, suasana lebih menegangkan dari biasanya. Kepala sekolah, Pak Harun, tampak cemas sambil memegang pengeras suara, siap untuk mengumumkan sesuatu yang penting.
"Sekolah akan ditutup sementara," katanya dengan suara yang berat. "Gelombang panas ini terlalu berbahaya untuk diabaikan." Aku melihat ke sekeliling, menyaksikan wajah-wajah kecewa teman-temanku.
Kami semua tahu bahwa penutupan sekolah bukan hanya tentang kehilangan waktu belajar; itu tentang kehilangan rutinitas, kehilangan normalitas.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan lambat. Aku menghabiskan waktu di rumah, mencoba belajar sendiri, tetapi sulit untuk berkonsentrasi dengan suhu yang terus meningkat.
Lalu, kabar buruk datang. Kebakaran hutan telah pecah di pinggiran kota, dan angin kencang membawa api semakin dekat ke tempat kami.
Aku melihat asap hitam yang tebal di kejauhan, dan hatiku berdebar. Ini bukan hanya tentang panas lagi; ini tentang bertahan hidup.
Kepala sekolah mengirim pesan darurat, meminta bantuan. "Kami membutuhkan semua tangan yang bisa membantu," katanya. "Ini saatnya kita bersatu."
Tanpa berpikir dua kali, aku bergabung dengan barisan relawan. Kami diberi masker, sarung tangan, dan ember penuh air.