Mohon tunggu...
Eka Setija
Eka Setija Mohon Tunggu... -

iam the big fans of Liverpool

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sepak Bola Indonesia: Matinya Kekritisan Supporter

9 Agustus 2016   16:35 Diperbarui: 10 Agustus 2016   07:25 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO. Suporter tim nasional Indonesia

Sepakbola adalah olahraga paling populer di dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang. Bagi sebagian masyarakat sepakbola merupakan simbol kedigdayaan, tidak hanya hiburan namun juga kebanggaan. Kita lihat sejenak di negara mana yang tidak mempunyai suporter fanatik, khususnya Indonesia masyarakat sangat gandrung akan sepakbola. 

Tidak heran jika Indonesia merupakan negara target marketing beberapa klub sepakbola dunia, ada Liverpool yang pernah ke Indonesia, Chelsea dan beberapa klub kelas dunia lainnya. Fanatisme dan loyalitas masyarakat Indonesia terhadap sepakbola tidak perlu diragukan lagi.

Bicara soal sepakbola dalam negeri, Indonesia sangat jauh tertinggal dari beberapa negara di kawasan asia tenggara. Memang Indonesia pernah berjaya baik level tim nasional maupun klub baik di asia maupun asia tenggara, namun hal tersebut hanya sekedar cerita masa lalu. 

Kita masih ingat di era Galatama 1978 hingga 90an menjadi liga yang boleh dibilang bagus dan menghasilkan pemain-pemain bagus, karena pada era tersebut klub-klub berlomba-lomba menjadi professional. Era Galatama sendiri merupakan percobaan liberalisasi sektor olahraga, di mana mekanisme pasar mulai diterapkan dan kompetisi layaknya perusahaan besar mulai terjadi. 

Sangat tidak heran jika awal kompetisi sangat bagus, namun lagi-lagi harus tercoreng oleh beberapa skandal seperti pengaturan skor oleh pemain-pemain yang bernanung dalam sebuah induk olahraga nasional.

Galatama resmi gulung tikar karena carut marutnya, selain itu krisis finansial juga dipegaruhi oleh krisis ekonomi global dan tentunya Indonesia terkena dampaknya. 

Secara tidak langsung juga mempengaruhi gulung tikarnya kompetisi professional Galatama, banyak klub yang tidak mendapatkan sponsor yang akhirnya berpengaruh pada kondisi finansial mereka sehingga banyak klub yang bangkrut. Selain krisis ekonomi, hancurnya kompetisi juga dipengaruhi oleh persaingan para borjuis olahraga nasional serta mafia-mafia olahraga, sehingga kompetisi ini tidak berumur panjang.

Era perserikatan bergaung kembali, klub-klub perserikatan kembali eksis karena mendapat sokongan dari APBD. Persebaya, Persija, Persib, PSMS dan PSM adalah bukti eksisnya kembali era perserikatan, di mana klub-klub tersebut merupakan yang paling eksis hingga sekarang walaupun ada beberapa yang sudah tenggelam dimakan kejamnya zaman. Penggunaan APBD untuk klub olahraga pada dasarnya baik, sebagai pengembangan potensi masyarakat daerah baik secara sosial maupun ekonomi. 

Namun praktiknya jauh dari harapan, dana yang diberikan tidak pernah transparan dan juga masyarakat tidak menikmatinya. Kebodohan yang terjadi ialah masyarakat sebagai supporter tidak pernah sadar jika dimanfaatkan, dana yang berasal dari rakyat tidak pernah digunakan untuk rakyat. Malahan dana tersebut hanya masuk pada perut-perut pengurus klub, pengurus federasi sepakbola daerah dan pejabat rakus. 

Suporter Indonesia pada dasarnya sangat loyal dan baik hati, di mana telah bertahun-tahun dimanfaatkan oleh pihak-pihak nakal namun tetap diam membisu. Alih-alih demi klub kesayangan, demi kehormatan daerah mereka melupakan hal yang paling dasar yaitu sebagai masyarakat seharusnya mereka juga diikutsertakan dalam pengelolaan klub. 

Fanatisme yang berlebihan terkadang menjurus pada chauvinisme kadang menjadi problem sosiologis tersendiri, terlebih sebenarnya klub atau timnas itu milik siapa sih? Rakyat atau elite bajingan partai politik dan pengusaha rakus.

Sebagai contoh hasil dari tiketing saja, di mana dari situlah peran seorang supporter dalam membantu klub kesayanganya, apakah pernah ada transparanya kemana aliran dana tersebut lari. Dilihat dari segi kuantitas suporter yang hadir seharusnya sebuah klub itu sudah untung besar, namun faktanya masih banyak klub yang kekurangan dana. 

Jika kita menilik persoalan tersebut, maka uang tiketing sendiri merupakan sebuah indikator penghisapan yang dilakukan oleh pengurus-pengurus korup. Namun kita sebagai suporter hanya diam seribu bahasa, malah memaklumi hal tersebut sebagai kewajaran.

Indikator lain ialah masalah penindasan pekerja olahraga, di mana banyak dari kawan kita yang berprofesi menjadi pemain sepakbola tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja. Penghisapan demi penghisapan dilakukan, bahkan parahnya kita tidak sadar akan hal tersebut. 

Otoritas sepakbola yang tidak peduli serta korup menjadi biang kerok permasalahn sepakbola negeri, nyatanya kita masih percaya dan mendukung. Hanya karena ingin ada kompetisi tidak peduli itu banyak yang ditindas, atau korupsi yang penting kompetisi jalan. Fanatisme buta inilah yang dimanfaatkan oleh para otoritas tersebut, baik federasi maupun pemerintah juga sama saja karena ada kepentingan.

Jika saja supporter sebagai masyarakat itu sadar, maka mereka tidak akan berani bermain-main. Kompetisi yang bagus akan tercipta karena masyarakat sendiri yang mengontrolnya, sehingga ada tanggug jawab untuk memajukan persepakbolaan negeri ini. 

Profesionalitas muncul karena adanya tanggung jawab serta tekanan, masyarakatlah yang sejatinya bisa merubah wajah kompetisi sepakbola nasional. 

Kompetisi yang bagus tentunya akan menghasilkan pemain yang berkualitas, berkesinambungan dengan prestasi yang telah lama kita rindukan yaitu Indonesia menjadi tim yang diperhitungkan di level internasional. Nasionalisme tidak hanya berdiam diri atau pasrah, namun juga merebutnya dan menjalankanya.

Viva Sepakbola Kerakyatan Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun