Sebentar kemudian rakit telah menepi. Salah seorang tukang satang melompat ke daratan sambil memegangi ujung tali penahan rakit, dengan cepat mengikatkan tali itu ke sebuah pathok bambu yang tertanam  dalam di tanah pinggir sungai itu. Sementara kedua temannya menahan rakit  dengan galah yang ditancapkan ke dalam air hingga menyentuh dasar sungai.
Semua penumpang bergiliran turun di pangkalan. Â Sebagian bergegas pergi setelah membayar jasa penyebrangan, enggan menyaksikan keributan yang sebentar lagi pasti terjadi.
******
Setelah menyerahkan kudanya kepada senopati Naga Wulung, Sekar Arum bergegas menghampiri empat pemuda yang berjajar berdiri hendak menghadangnya.
Senopati Naga Wulung menerima tali kuda itu sambil tersenyum. Dengan merunduk-runduk terkesan takut ia melewati barisan pemuda itu.
"Hati-hati tuan-tuan. Jaga baik-baik kepala tuan. Ia terbiasa memenggal kepala musuh tanpa ampun." Kata Naga Wulang.
Mendengar ucapan Naga Wulang empat pemuda itu tertawa bersama bergelak-gelak. Mereka yakin dapat menangkap calon mangsanya dengan mudah.
"Sudahlah pergi sana menonton pertunjukan ini.  Tapi jangan jauh-jauh. Kami  juga butuh kuda kalian." Jawab  salah seorang pemuda itu.
Tanpa ragu-ragu Sekar Arum melangkahkan kakinya mendekati calon lawannya. Hatinya sangat muak terhadap perilaku empat pemuda berandalan yang mengganggu perjalanannya. Dengan cepat kedua tangannya bergerak, dalam sekejab jari-jari kedua tangannya telah menggenggam sepasang pedang tipisnya. Ia silangkan kedua pedang itu di depan dadanya.
"Jangan salahkan aku jika leher kalian terpenggal pedangku." Katanya.
Keempat calon lawannya hampir bersamaan menghunus parang yang  menggantung  dipinggang  mereka. Keempat pemuda itu lantas bergerak mengepung Sekar Arum dari empat penjuru.