Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Tumbal Wayang

30 September 2024   17:46 Diperbarui: 1 Oktober 2024   10:30 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

TUMBAL WAYANG

Oleh Wahyudi Nugroho


Pak Samiran baru saja merebahkan tubuhnya di amben bambu di ruang tamunya. Barangkali ia kelelahan, setengah hari telah bekerja keras, membongkar pondasi batu bata bekas rumah tetangganya. Ia kumpulkan batu bata itu, rencananya untuk menutup dinding kamar mandinya dengan bahan  permanen.

Istrinya sudah memperingatkan, agar minta ijin dulu ke pemiliknya. Karena mengambil satu bata saja  tanpa ijin pemiliknya, sudah termasuk pencurian. Suaminya tentu sudah tahu itu, karena Pak Samiran seorang pensiunan polisi.

"Nanti saja kalau semua sudah selesai. Aku akan berkunjung ke rumah barunya di Kepung. Toh batu bata pondasi rumahnya tidak ia butuhkan. Hanya bangunan kayu rumahnya yang ia bawa, untuk dapur di tempat yang baru." Katanya.

"Tak harus bapak bertemu. Bapak bisa pinjam telpon di polsek. Jika Pak Kidjo tidak sedang dinas, minta yang menerimanya menyampaikan pesan." Kata istrinya.

"Ah perkara sepele saja kau ributkan. Batu bata pondasi rumah itu ia tinggalkan, artinya sudah tidak dibutuhkan. Tentu ia tak keberatan aku ambil. Toh, kami sama-sama anggota kepolisian. Dia masih dinas, aku pensiun. Hanya itu bedanya. Dan lagi aku tak mau mengganggu petugas polsek." Jawab Pak Samiran.

Isterinya diam. Meski hatinya tidak sepakat. Ia tindas rasa waswas yang tiba-tiba muncul atas resiko yang mungkin terjadi. Mengingat wanita itu menyaksikan sendiri, Pak Soekidjo dulu pernah memendam dua tokoh wayang di lantai rumahnya sebagai tumbal. Antasena dan Kakrasana.

****

Belum lama Pak Samiran memejamkan kedua matanya saat tidur siang itu, mendadak ia berteriak-teriak histeris. Suaranya mengagetkan seluruh anggota keluarganya. Isterinya yang sedang menyapu di dapur membuang sapunya dan berlari ke ruang tamu. Demikian pula kedua anak lelakinya yang sudah perjaka itu, segera berlari keluar kamar ingin tahu apa yang terjadi.

"Adduuh, ampuuun Pak Kidjo, ampunnn. Jangan pukul aku, ampuuun." Teriak Pak Samiran.

Tubuh lelaki itu kejang-kejang dan gemetaran. Sebentar-sebentar menjerit kesakitan dan minta ampun. Mimik wajahnya menandakan ia ketakutan yang sangat.

"Pak bangun, bangun pak." Isterinya mencoba membangunkan Pak Samiran dari tidurnya dengan menggoyang-goyangkan tubuh pensiunan polisi itu. Namun lelaki itu tetap saja berteriak-teriak histeris.

Anak lelaki sulungnya membantu ibunya. Ia menepuk-nepuk kaki ayahnya. Tapi usahanyapun nihil. Pak Samiran semakin kencang berteriak-teriak ketakutan.

Melihat ibu dan kakaknya gagal membangunkan ayahnya yang sedang nglindur alias mengigau, bungsunya bergegas lari ke belakang. Ia ambil ember plastik dekat sumur, mengisinya dengan air hingga penuh. Ia angkat ember plastik itu ke ruang tamu. Tanpa minta ijin kepada ibu dan kakaknya ia siramkan air dalam ember ke tubuh ayahnya.

"Byuuuurrr...."

Tiba-tiba Pak Samiran bangkit dari tidurnya. Seluruh tubuh dan bajunya basah. Ia bergegas turun dari tempat tidurnya dan berlari ke pojok ruang tamu itu. Ia berjongkok di sana sambil mengangkat kedua tangannya. Tubuhnya menggigil gemetar.

"Ampun Pak Kidjo, ampuuun. Jangan pukul lagi saya. Ampuuun !!! Saya minta maaf. " demikian teriaknya berulang. Matanya terbuka, tapi hanya kelihatan warna putihnya saja.

Ibu Samiran menangis melihat keadaan suaminya. Ia tidak tahu bagaimana cara menyadarkan suaminya. Setiap kedua anak lelakinya melangkah maju hendak menghampiri, lelaki itu selalu berteriak, bahkan sampai membungkuk menyembah-nyembah.

"Ampuun, jangan. Ampuuun. Saya kapok. Tak akan lagi mengambil batu bata bapak. Ampun." Teriaknya.

Semua tetangga yang mendengar jeritan Pak Samiran bergegas lari mendatangi rumah pensiunan itu. Mereka bertanya-tanya apa yang tengah terjadi. Namun tak ada yang tahu kenapa Pak Samiran histeris ketakutan. Mata mereka hanya bisa menatap lelaki di pojok ruang tamu itu dengan aneka pertanyaan.

Para tetangga itu juga tak berani mendekat. Setiap ada yang menghampiri, Pak Samiran selalu berteriak-teriak ketakutan. Ia menyebut nama Pak Soekidjo pemilik bekas rumah yang tinggal pondasinya itu.

"Panggilkan saja Pak Soekidjo barangkali bisa menyembuhkan ketakutannya." Saran salah seorang tetangga kepada Ibu Samiran. Isteri pensiunan polisi itu segera memerintah anak sulungnya untuk meminjam telpun ke kantor Polsek Keras untuk memohon kehadiran Pak Soekidjo ke rumahnya.

Dengan sepeda ontel sulung Pak Samiran pergi ke kantor polisi. Dengan senang hati petugas piket di kantor polsek itu mengijinkan agar putra Pak Samiran menggunakan fasilitasnya. 

****

Sore hari menjelang magrib, Pak Soekidjo datang ke rumah Pak Samiran. Bu Samiran sambil menangis bercerita, bahwa suaminya semula mengigau saat tidur siang. Beliau berteriak-teriak ketakutan, tubuhnya kejang dan gemetaran.

Anehnya setelah bangun karena disiram air anak bungsunya, ketakutannya tidak reda. Setiap ada orang yang mendekat, beliau berteriak-teriak minta ampun. Kadang sampai menyembah-nyembah sambil membungkuk. Mohon maaf telah mengambil batu bata di bekas rumah milik Pak Soekidjo.

Lelaki berkumis tebal yang baru dipindah tugaskan dari polsek Keras ke Polsek Kepung itu lantas mendekati Pak Samiran yang masih jongkok di pojok ruang tamu. Tiba-tiba Pak Samiran bangkit dari jongkoknya, lari ke arah Pak Soekidjo. Pensiunan itu menjatuhkan diri dan memeluk kaki tamunya.

"Ampuuun pak Kidjo, ampuuun. Saya tidak akan mengambil batu bata lagi. Hentikan anak buah bapak memukuli saya. Ampuuunnn." Erangnya.

"Bapak dipukuli anak buah saya ? Bapak ingat wajah orangnya ? Tolong katakan !" Tanya Pak Soekidjo.

"Aku ingat pak. Wajahnya hitam, bersumping telinga, telanjang dada, bercelana selutut dan berkain poleng."

Pak Soekidjo barulah sadar, siapa gerangan yang disampaikan Pak Samiran. Orang-orang yang memukuli bekas tetangganya itu bukan manusia, namun makluk jadian yang dipuja dari dua buah wayang sebagai tumbal. 

Ia ingat pernah memasang tumbal di rumahnya, ia pendam dilantai tepat di tengah rumah. Sengaja ia pilih tokoh yang menjadi idolanya, dua orang kesatria penegak keadilan. Antasena dan Kakrasana.

Saat pindah rumah dirinya lupa melepas keramat tumbal di bekas rumah itu. Akibatnya membuat celaka Pak Samiran, karena mengambil batu bekas pondasi ia harus menanggung resiko, dihajar makluk jadian penjilmaan tumbalnya.

"Beri aku sebatang rokok." Kata Pak Soekidjo. Karena tergesa-gesa ia lupa bawa rokok kegemarannya. Rokok cap Alang-alang.

Dari kerumunan para tetangga menyeruak seseorang mengulurkan tangan. Ia memberi sebatang rokok lengkap dengan koreknya. Sambil berdiri Pak Soekidjo menyulut ujung rokok itu dengan api.

Setelah menghisap sebatang rokok cap kerbau itu tiga kali, Pak Soekidjo menggerakkan mulutnya berkomat-kamit. Mungkin ia membaca mantra atau doa. Setelah menghisap rokoknya lagi, asapnya ia semburkan ke muka Pak Samiran.

Tiba-tiba Pak Samiran jatuh terlentang dan memejamkan matanya. Keadaannya seperti orang yang sedang tidur pulas. Segera Pak Soekidjo minta agar Pak Samiran diangkat di bawa ke kamarnya. Beberapa lelaki lantas bergerak membopong tubuh yang basah kuyub itu.

Sebelum pamit polisi berpangkat peltu itu meninggalkan beberapa lembar uang yang diberikan kepada bu Samiran. Sambil berpesan agar menyelenggarakan acara selamatan, karena besok ia akan melepas tumbal di bekas rumahnya.

"Buatkan tumpeng lengkap dengan ingkung dan lauk lainnya. Juga jangan lupa lengkapi dengan tujuh ketupat luar. Sediakan pula bunga tiga warna, kemenyan dan tempat membuat api dupa." Katanya berpesan.

Malam itu Pak Soekidjo meneruskan perjalanan ke rumah guru spiritualnya, Mbah Mangun, di dusun Kanigara. Ia mohon petunjuk bagaimana cara melepas tumbal yang ia pasang di rumahnya.

 *****

Esok harinya sekitar jam delapan diselenggarakan selamatan. Semua tetangga hadir ingin menyaksikan upacara pengambilan tumbal itu. Rasa ingin tahu mereka mengalahkan kewajiban menjalankan tugas rutinnya. Banyak yang membolos pergi ke kantor, atau tempat kerja lainnya.

Setelah selamatan mereka pulang sekedar meletakkan berkat di rumah. Setelah itu balik lagi bergabung dalam kerumunan orang yang menonton Pak Soekidjo menggali lantai bekas rumahnya.

Dengan linggis dan cangkul Pak Soekidjo menggali lantai. Di tunggui lelaki tua berpakaian serba hitam. Selang sebentar lelaki itu menjatuhkan kemenyan ke dalam arang yang membara di atas anglo tanah liat. Doa dan mantra terus ia panjatkan.

Beberapa saat kemudian Pak Soekidjo mengangkat dua benda terbungkus plastik tebal. Semua penonton hatinya berdebar-debar, ingin tahu  benda apa yang terbungkus plastik tebal itu.

Pak Soekidjo dengan hati-hati membuka plastik pembungkus itu. Mata penonton melotot heran, ternyata di dalamnya hanya wayang.

"Ohhhh, wayang." Celoteh seseorang.

"Antasena dan siapa itu ?" Celoteh lainnya bertanya.

"Kakrasana, masa mudanya Prabu Baladewa. Raja Mandura." Lainnya lagi menimpali memberi jawaban.

Dua tokoh kesatria dunia pewayangan itu dengan bergegas di berikan kepada kakek tua guru spiritual Pak Soekidjo. Mbah Mangun. Kyai dari dusun Kanigara itu menerimanya dengan tetap merapalkan doa dan mantra. Kedua tokoh wayang itu ia angkat layaknya seorang dalang memainkan wayang.

Kemudian kedua wayang itu ia mandikan dengan asap kemenyan yang terus bergulung-gulung naik ke angkasa. Setelah beberapa saat ia usap kedua wayang dengan air dalam ember yang telah dimasuki bunga tiga warna. Kemudian diikat dengan sehelai janur bekas pembungkus ketupat luar.

"Larung keduanya ke sungai Brantas. Agar kemayannya hilang terbawa arus. Semoga selamat semuanya." Kata Mbah Mangun.

"Gunakan air bunga bekas usapan dua wayang itu pada memar muka dan dada korban. Semoga ia lekas sembuh." Lanjutnya.

Ketika ibu Samiran membawa air bunga itu ke kamarnya, semua penonton berdesakan mengikuti. Mereka menyaksikan dengan mata kepala betapa hebat akibat hajaran makluk jadian itu. Muka dan dada Pak Samiran bengkak berwarna merah kehitaman.

Bu Samiran membasuh muka dan dada yang bengkak itu dengan berlinang air mata.

"Begini akibatnya bapak tidak mempedulikan saranku. Rumak Pak Soekidjo itu ditunggu makluk jadian perwujudan tokoh wayang yang dijadikan tumbal. " bisiknya lirih kepada suaminya.

Siang itu juga, dengan dibonceng sulung Pak Samiran, Pak Soekidjo melarung dua tokoh wayang yang ia jadikan tumbal rumahnya ke arus sungai Brantas.

*****

Meski telah lama peristiwa unik dan mistis itu terjadi, hingga kini masih diingat orang. Bahkan masih sering dijadikan perbincangan di warung-warung kopi di dusun Purwadadi di pinggir sungai Brantas itu.

Seperti pagi akhir September itu, beberapa anak muda nongkrong di warung kopi, untuk menikmati hidup mereka yang sederhana.

"Sayang, Mbah Mangun sudah meninggal. Andai masih hidup mungkin bisa diminta menumbali desa kita. Agar pencuri motor di daerah ini lekas tertangkap." Seseorang nyeletuk mengungkit cerita lama itu.

"Hehehe. Nanggung jika hanya menumbali desa kita. Lebih baik menumbali negeri kita. Nusantara. Jangan hanya dua tokoh itu, Antasena dan Kakrasana. Jika perlu semua anak-anak Pandawa. Antareja, Gatotkaca, Antasena, Wisanggeni, Abimanyu dan yang lainnya. Ditambah Anoman, pasti lebih hebat." Yang lain nimbrung menambahi.

"Maksudmu agar oligart perampas tanah rakyat di negeri ini dihajarnya ?" Tanya yang lain lagi.

"Iya. Orang-orang serakah itu biar kapok."

"Waaah kalian telah mengalami krisis kepercayaan kepada kehebatan aparat kita. Banyak teroris yang telah ditangkap lho oleh densus delapan-delapan."

"Memang kami telah kehilangan kepercayaan. Tak ada tempat berlindung bagi rakyat sekarang. Pejabat dan aparat mungkin sudah terbeli. Kini oligart leluasa merampas tanah rakyat, dengan ganti rugi kecil sekali. Sangat kecil"

"Tapi mengganti peran aparat dengan tumbal wayang itu mimpi. Kalau mengigau saat tidur siang, ya gak apa-apalah."

Mereka tertawa. Kemudian menyeruput wedang kopi mereka masing-masing.

Lereng Kelud, 30 September 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun