Ketika ibu Samiran membawa air bunga itu ke kamarnya, semua penonton berdesakan mengikuti. Mereka menyaksikan dengan mata kepala betapa hebat akibat hajaran makluk jadian itu. Muka dan dada Pak Samiran bengkak berwarna merah kehitaman.
Bu Samiran membasuh muka dan dada yang bengkak itu dengan berlinang air mata.
"Begini akibatnya bapak tidak mempedulikan saranku. Rumak Pak Soekidjo itu ditunggu makluk jadian perwujudan tokoh wayang yang dijadikan tumbal. " bisiknya lirih kepada suaminya.
Siang itu juga, dengan dibonceng sulung Pak Samiran, Pak Soekidjo melarung dua tokoh wayang yang ia jadikan tumbal rumahnya ke arus sungai Brantas.
*****
Meski telah lama peristiwa unik dan mistis itu terjadi, hingga kini masih diingat orang. Bahkan masih sering dijadikan perbincangan di warung-warung kopi di dusun Purwadadi di pinggir sungai Brantas itu.
Seperti pagi akhir September itu, beberapa anak muda nongkrong di warung kopi, untuk menikmati hidup mereka yang sederhana.
"Sayang, Mbah Mangun sudah meninggal. Andai masih hidup mungkin bisa diminta menumbali desa kita. Agar pencuri motor di daerah ini lekas tertangkap." Seseorang nyeletuk mengungkit cerita lama itu.
"Hehehe. Nanggung jika hanya menumbali desa kita. Lebih baik menumbali negeri kita. Nusantara. Jangan hanya dua tokoh itu, Antasena dan Kakrasana. Jika perlu semua anak-anak Pandawa. Antareja, Gatotkaca, Antasena, Wisanggeni, Abimanyu dan yang lainnya. Ditambah Anoman, pasti lebih hebat." Yang lain nimbrung menambahi.
"Maksudmu agar oligart perampas tanah rakyat di negeri ini dihajarnya ?" Tanya yang lain lagi.
"Iya. Orang-orang serakah itu biar kapok."