Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Horor

Mbah Dulah, Bertemu Hantu Puthul

11 September 2024   16:51 Diperbarui: 11 September 2024   16:54 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://dapurdesainminimalis.blogspot.com/2021/06/26-penjual-kartun-baru.html

MBAH DULAH, BERTEMU HANTU PUTHUL

Oleh : Wahyudi Nugroho

Mbah Dulah kesal hatinya. Empat desa telah dikelilinginya malam itu. Kedua kakinya juga sudah lelah. Apalagi pundaknya yang harus menahan beban, terasa betapa pegalnya.

"Malam sial. Mimpi apa aku semalam. Sejak sore hingga hampir tengah malam, hanya laku sepuluh tusuk." Keluhnya dalam hati.

Ia berhenti sejenak, dan melepas bebannya di pundak. Nafasnya yang memburu biar agak reda. Keringat di kening dan lehernya ia usap. Angin malam bertiup, sedikit rasa nyaman membelai.

Hatinya mengeriyut, saat menatap jalan panjang yang membentang. Gelap gulita tanpa setitik cahaya. Hanya sebatang obor yang menemaninya, menancap di pojok salah satu keranjangnya. Nyalanya merah bergerak-gerak digoda angin malam.

"Te, sateee....Sate !!" Teriaknya berulang kali.

"Tok, tok, tik, tok....sateee." kentongan kecil dipukulnya keras berpuluh kali.

Ia masih berdiri di pertigaan jalan. Setelah keluar dari dusun Bira Santren. Tak juga ada orang mendatanginya. Semua rumah sudah menutup pintu.

Kemana kakiku harus melangkah, pikirnya. Kekiri berarti kembali. Pulang tak bawa uang membuat hatinya gamang. Kecuali besuk tak bisa kulakan, juga kecut melihat istrinya pasang wajah masam.

Ke kanan, jalan gelap gulita panjang membentang. Di sisi jalan itu hutan Sambi. Ingatannya melayang ke masa lalu. Di hutan itu dua tahun lewat terjadi peristiwa ngeri. Puluhan orang BTI dan gerwani digorok lehernya dan dikubur dalam satu lubang. Mereka korban peristiwa pemberontakan PKI.

Terdengar suara kentongan dipukul di kejauhan. Tanda malam telah sampai puncak. Hatinya masih gamang melanjutkan langkah.

"Bismillah. Semoga laku." Doanya saat mengangkat rombong kayunya.

Dengan bekal hati nekad ia terobos gelap malam. Ia berjalan ke barat. Meski telah larut ia masih berharap, satenya laku diborong orang. Mudah-mudahan di desa Naba masih ada peronda yang berjaga.

Belum juga setengah dari panjang jalan ia tempuh, nampak bayangan hitam menyebrang. Tiga orang berdiri di jalan, seolah menanti kedatangan orang yang lagi jualan. Benar saja, salah seorang dari mereka menghentikannya.

"Sate Bang. Masih ada kan ?" 

"Ohh ya ya ya. Masih utuh. Kebetulan baru laku sedikit."

"Ada nasinya ?"

"Ada."

"Tiga bang. Satenya sepuluh-sepuluh. Sendirikan di piring ya."

"Baik...silahkan sabar menunggu."

Mbah Dulah girang hatinya. Tiga puluh sunduk satenya laku. Ia bisa engkres didepan istrinya. Sambil memberikan uang belanja. Demikian angannya melayang sambil mengipasi api saat membakar sate.

Singkat cerita tiga puluh tusuk sate telah matang. Ia bagi tiga dan diletakkannya di piring, tak lupa lengkap dengan sambal kacangnya.  Tiga piring sate disuguhkan di depan tempat duduk tiga orang itu. Baru ia ambil nasinya tiga piring dan disusulkannya.

Setelah menyuguhkan air hangat dalam gelas, barulah ia bisa santai. Peralatan bakar sate ia kembalikan di tempatnya, meski api arangnya masih terlihat menyala.

Mbah Dulah tersenyum melihat tiga orang itu menikmati nasi satenya. Mereka makan dengan lahapnya. Tak sepatah kata keluar dari mulut mereka, hanya bunyi kecap lidah dan bibir mereka yang terdengar.

"Heeeekkkk.....satemu enak sekali kang" ucap salah seorang dari mereka.

Mbah Dulah menanggapinya hanya dengan senyum. Iapun bergegas membersihkan peralatan makan tiga orang itu. 

Ia menunggu sejenak tiga orang itu membayar satenya. Namun rupanya mereka masih asyik berbincang. 

"Sudah Mas, saya mau melanjutkan jualan" kata Mbah Dulah memberi kode agar tiga orang itu segera memberinya uang.

"Mau jualan ke barat Pak ? Sudah malam lho. Apa nggak takut?"

"Iya sate saya masih banyak. Kenapa harus takut ?"

"Di sana banyak hantunya lho Pak."

"Ahh hantu apa. Gak ada hantu. Sudah mana uangnya."

"Uang apa Pak ?"

"Yaa, uang nasi dan sate. Tiga piring." Mbah Dulah agak emosi.

Ketiga orang itu mendadak tertawa. Mbah Dulah curiga, tiga orang itu akan mangkir membayar.

"Pak pak. Bapak kok aneh minta uang pada kami. Jelas kami tak punya. Kami tadi kan minta nasi dan sate. Tidak beli."

"Kalian ini bagaimana sih. Masa kalian gak tahu saya lewat jualan sate, tidak untuk membagi sate." Mbah Dulah kesal.

Tiga orang itu tertawa semakin keras. Tubuhnya terguncang-guncang sambil memegangi perutnya.

"Paaak. Maaf ya, kami tidak punya uang. Kepala saja kami tak punya, apalagi uang."

Mbah Dulah terkejut sekali. Begitu selesai berucap tiba-tiba nampak pemandangan mengerikan di depan Mbah Dulah. Tiga lelaki yang baru makan satenya ternyata tidak punya kepala. Kepalanya puthul, lepas.

Tidak berpikir panjang, karena terjerat rasa takut, Mbah Dulah ambil langkah seribu. Ia berlari sekencang-kencangnya ke timur, meninggalkan barang dagangannya.

Setengah kilometer berlari, nafasnya sudah ngos-ngosan. Iapun berganti berjalan. Sambil berulang kali menengok ke belakang. Khawatir tiga hantu tak berkepala itu mengikuti.

Tiba-tiba ia lihat orang bersepeda di depan. Bergegas Mbah Dulah mengejarnya. Tanpa izin pesepeda itu ia langsung melompat naik boncengan.

"Nunut Pak, ke timur sana."

"Yah, silahkan. Dari mana kok nafasnya memburu, terengah-engah."

"Ya lari pak. Baru saja aku lihat hantu, tanpa kepala. Hantu puthul"

"Hantu puthul ? Tanpa kepala ? Apa wujudnya seperti aku ?"

Mbah Dulah mendongak keatas. Orang yang memboncengnya dengan sepeda ternyata juga tanpa kepala. Iapun lantas bergegas melompat turun, dan lari sekencang-kencangnya sampai rumah.

Esok harinya Mbah Dulah diketahui oleh isterinya pingsan di halaman. Celananya basah berbau pesing.

Sejak saat itu Mbah Dulah tak lagi keliling jualan sate. Ia membuka warung di depan pasar desa. Warung "Sate Dulah" terkenal hingga sekarang. Menjadi langganan favorit pejabat-pejabat yang gemar satenya.

(September, 224)

Lereng Kelud, Kediri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun