Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bab 50 Istana Giri Wana

6 September 2024   11:07 Diperbarui: 7 September 2024   10:48 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ISTANA GIRI WANA

Oleh Wahyudi Nugroho

Rombongan prajurit Bala Putra Raja menginap di dusun Jungabang malam itu, tidak lagi meneruskan perjalanan ke pesanggrahan Wawatan Mas. Mereka harus mengubur beberapa korban dari kalangan penyerbu terlebih dahulu. Dan mengobati beberapa prajurit yang terluka.

Tak ada gangguan ketika mereka istirahat di Jungabang, semua bisa tidur nyenyak malam itu. Di pagi hari sebelum mereka mempersiapkan diri melanjutkan perjalanan, seorang lelaki tua dengan bekas luka di dahinya, datang ingin bertemu dengan senopati.

"Ada apa Kisanak, ingin menemuiku." Tanya Senopati.

"Saya bekel dusun Jungabang ini tuan. Hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada tuan, telah membebaskan dusun ini dari gerombolan yang merebut paksa dusun ini. Jika tuan berkenan, harap menangguhkan perjalanan tuan, kami ingin menjamu semua prajurit sebagai ucapan terima kasih kami."kata bekel Jungabang.

"Menjamu semua prajurit ? Apakah lumbungmu isinya cukup untuk menjamu kami semua ?" Tanya senopati sambil tertawa.

"Aku kira cukup tuan. Beras kami masih banyak. Ayampun masih utuh. Hanya ternak kambing warga kami yang jauh berkurang, dirampas anggota gerombolan untuk pesta saban malam." Kata bekel Jungabang itu.

Tapi senopati menggelengkan kepala. Bekal bahan pangan yang mereka bawa masih banyak, lebih dari cukup untuk menjamu semua prajurit.

"Terima kasih ki bekel. Kami sudah membawa bekal bahan pangan buat ransum para prajurit. Dusun sudah kembali aman kami sudah bahagia." Kata senopati.

Bekel Jungabang itu sangat terharu. Ia tak mampu menahan air matanya yang deras menetes. Dengan gemetar ia mengucapkan terima kasih berulang-ulang kepada setiap prajurit yang ia temui.

"Terima kasih tuan. Terima kasih. Semoga dewata yang membalas kebaikan tuan." Kata bekel itu meninggalkan rumah yang jadi barak pimpinan prajurit.

Setelah semua selesai makan pagi, barisan prajurit Bala Putra Raja bergerak lagi meneruskan perjalanan ke arah timur laut. Menuju bekas pesanggrahan tempat Pangeran Erlangga mengungsi karena perang. 

Dari perbincangannya dengan beberapa prajurit, banyak hal yang diketahui Sembada. Salah satunya tentang pesanggrahan di Wawatan Mas. Keadaannya kini sudah jauh berbeda dengan dulu saat mereka datang kemari.

Semula tempat itu adalah tanah lapang yang sering disebut Ngoro-oro oleh penduduk, karena tak ada pohon di sana. Namun tempat itu dilingkari hutan yang cukup lebat. Daerah yang terletak di lereng gunung Penanggungan itu kini tengah di bangun sebuah istana. Istana Giri Wana, Wawatan Mas.

Giri artinya gunung, dan wana bermakna hutan. Istana Giriwana adalah istana yang dibangun di tengah hutan yang terletak di lereng gunung. Dari tempat itu  memang nampak jelas sekali puncak gunung Penanggungan. Sementara gunung ini dipercaya sebagai patahan puncak Semeru yang jatuh ke bumi saat gunung raksasa itu di pindah para dewa ke tanah Jawa.

Sebenarnya banyak prajurit yang kurang setuju jika Pangeran Erlangga membangun istana di situ. Mereka banyak mendengar dari warga desa sekitar, bahwa Ngoro-oro itu adalah tempat yang wingit. Angker. Jika pangeran membangun istana di sana mereka takut akan sering terjadi bencana.

Para pemburu atau pencari kayu dari desa sekitar sering menemukan kerangka manusia di tempat itu,  di samping sebuah altar dari tumpukan batu dan bumbung-bumbung bambu bekas wadah minuman keras yang berserakan. Bahkan sering kali penduduk sekitar hutan mendengar suara-suara aneh di tengah malam buta, dan melihat asap api yang membubung ke langit dari sana.

"Huum, huuum, huuum..." demikianlah bunyi suara-suara aneh itu.

Ketika hal tersebut diutarakannya kepada Sekar Arum, saat mereka sejenak istirahat di suatu tempat yang agak jauh dari rombongan, gadis itu merenung sejenak. Ia ingat berbagai cerita yang sering dikisahkan ayahnya saat mereka sekeluarga tengah bercengkrama. Meski saat itu ia remaja kecil, namun ia masih sangat mengingatnya. Bahkan sekarang ia bisa mengupas dan mengurainya dengan pikiran.

"Tak ada yang aneh Kang. Apalagi berkaitan dengan dunia lain. Alam gandarwa. Penyebab suasana jadi wingit dan angker. Aku kira itu kebiasaan kelompok-kelompok penganut keyakinan tertentu yang sedang melakukan upacara." Kata Sekar Arum. 

"Upacara keagamaan ? Dengan menumbalkan manusia ?" Kata Sembada heran.

"Sebuah keyakinan tertentu, tapi tak bisa disebut agama. Upacara demikian lazim dilakukan oleh penganut aliran yang menyebutnya Bhairawa Tantra. Tapi sebetulnya bukan. Merekalah yang merusak ajaran itu dan menyelewengkannya. Bukankah banyak kelompok-kelompok semacam itu di dunia ini. Dari latar agama yang berbeda-beda ?  Orang-orang mengatakan mereka kelompok sesat. Itu yang pernah aku dengar dari kisah-kisah yang diceritakan ayahku." Kata Sekar Arum.

"Bhairawa Tantra ? Aku belum pernah mendengar." Kata Sembada lirih.

"Sebuah keyakinan agar seseorang mampu mencapai tingkat samadi saat meditasi, maka harus bisa mengendalikan gerak nafsu perut dan birahi. Jika dua nafsu itu hilang, barulah orang bisa mencapai tingkat samadi itu, sehingga orang tersebut memperoleh sakti. Dengan sakti yang dimiliki ia akan memperoleh wibawa berkuasa." Kata Sekar Arum singkat.

"Apa hubungannya dengan tumbal manusia." Tanya Sembada.

"Itu berkaitan dengan cara mereka menghilangkan nafsu perut dan birahi. Dua nafsu itu akan hilang dengan sendirinya, jika dipenuhi sepuas-puasnya. Itulah ajaran yang dikembangkan, mereka menyebutnya Panca Makara Puja." Kata Sekar Arum.

"Panca Makara Puja, apa itu ?" Tanya Sembada lagi.

Sekar Arum menatap Sembada beberapa saat, Sembada dengan rasa ingin tahunya yang tinggi juga menatap mata Sekar Arum.

"Tidakkah di padepokanmu ada Wisma Pustaka ? Banyak kitab tersimpan di sana ? Dengan membaca kakang lebih luas memandang dunia." Kata Sekar Arum meledeknya.

"Aku tak suka membaca. Jika ada sesuatu yang aku nggak tahu, cukup aku bertanya pada guru." Jawab Sembada pelan.

"Itulah sebabnya wawasanmu jadi sempit kakang, meski ilmu kanuraganmu amat tinggi." Ejek Sekar Arum sambil tertawa.

Namun Sembada diam saja. Gadis itu sejak kecil sudah sering mengejeknya, sejak kecil pula ia tak pernah tersinggung atas ejekan-ejekan itu. Itulah sebabnya saat kecil mereka tak pernah bertengkar. Mereka bertiga, Sembada, Sekar Arum dan Sekar Sari,  bisa melalui hidup di katumenggungan dengan hati senang dan gembira#.

"Teruskan penjelasanmu tentang Panca Makara Puja itu, Arum." Pinta Sembada kepada gadis yang duduk di sampingnya.

"Sebenarnya pengetahuanku tentang itu juga sedikit sekali kakang. Jika tidak lengkap penjelasanku kepadamu, aku takut kakang salah mengerti dan memahami. Apalagi bila sampai salah menerapkannya dalam kehidupan. Akan sama dengan perilaku-perilaku mereka yang sering mengganggu, menculik gadis dengan alasan untuk pelengkap sesaji dalam puja. Itu sudah menyimpang jauh sekali." Kata Sekar Arum.

"Menculik gadis ? Untuk pelengkap sesaji ? Aku tambah bingung Arum, maksudnya apa." Tanya Sembada.

"Kelak saja aku jelaskan, bila aku sudah jadi istrimu." Jawab Sekar Arum.

"He, jadi selama ini kau mengharapkan aku jadi suamimu ?" Tanya Sembada.

Sekar Arum menutup mulutnya dengan dua tangan. Rupanya ia keceplosan membuka mulut dan mengutarakan isi hatinya. Sebagai gadis ia sangat malu telah melakukan sesuatu yang tak lazim. Seharusnya ia menunggu sampai Sembada mengutarakan isi hatinya dulu perasaan apa yang tersimpan terhadap dirinya.

"Tidak, tidak, tidak..." kata gadis itu gugup sambil lari meninggalkan Sembada.

Sembada dengan sigap mengejar gadis itu. Ia segera mencengkeram lengan gadis itu dengan jemarinya setelah berhasil mengejarnya.

"Jelaskan ucapanmu yang terakhir. Jika tidak, tak akan aku lepaskan kau." Kata Sembada.

"Kata yang mana ? Aku sudah lupa." Jawab Sekar Arum sambil menunduk.

"Kau bilang ingin jadi istriku ?" Kata Sembada.

"Tidak. Aku tidak mengucapkan kata-kata itu."

"Kau berani bersumpah ?"

Sekar Arum mendongakkan mukanya. Ia tatap mata Sembada dengan pandangan serius. Kemudian ia menoleh ketika Sembada membalas tatapannya.

"Bukan akulah yang harus mengutarakan isi hati. Tapi kau, sebagai seorang lelaki. Itulah lazimnya." Kata Sekar Arum.

Kini Sembadalah yang ganti menundukkan kepala. Betapa ia merasa kecil dihadapan Sekar Arum, tak sepadan dengan gadis itu. Perasaan demikian telah tumbuh saat mereka tinggal di Dalem Katumenggungan.

"Sebenarnya aku juga menunggu pernyataanmu. Apakah kau tidak merasa rendah jika anak pengasuhmu ini ingin meminangmu ?" Kata Sembada lirih.

"Apanya yang kurang pada anak pengasuhku ? Ilmu kanuragan mumpuni, wajah tampan punya, masa depan tidak diragukan. Hanya satu yang tak punya."

"Apakah yang aku tidak miliki ?"

"Keberanian diri untuk menyatakan isi hati."

"Benar Arum. Selama ini memang perasaanku hanya aku pendam saja. Tak berani aku mengutarakannya. Takut jika jawabanmu tidak sesuai dengan harapanku."

"Apakah harapanmu kakang ?"

"Menjadikan Sekar Arum pendampingku."

"Bukankah aku selama ini telah mendampingimu ?"

"Tegasnya aku ingin menjadikanmu istriku."

"Bukan disini seharusnya kakang menegaskan niat kakang."

"Di mana ?"

"Di depan ayahku. Kelak jika kita kembali ke kademangan Maja Dhuwur. Jika ayahku menerimamu, aku hanya ikut saja."

"Baiklah. Aku berjanji akan melamarmu di depan ayah dan ibumu."

Bibir kedua muda mudi itu menyungging senyum. Empat mata berbinar saling bertatap pandang. Rupanya dewa-dewi asmara sudah bersemayam di hati mereka. Ketika terdengar perintah untuk melanjutkan perjalanan, mereka bergegas melangkahkan kaki untuk bergabung kembali dengan pasukan. Kedua tangan mereka bergandengan dengan mesra.

Sebentar kemudian sebuah barisan prajurit yang sangat panjang mengular kembali di jalan menuju istana Giri Wana. Kini hati Sembada dan Sekar Arum terasa sangat berbeda, mereka sangat senang menikmati perjalanan itu. Berulang kali menoleh dan saling tatap pandang dengan cahaya mata yang berbinar. Disusul seulas senyum tersungging manis di bibir mereka.

Panasnya mentari siang itu tak mereka rasakan. Semilirnya angin yang lembut terasa jauh lebih nyaman. Mereka tak berpikir lagi masih berapa ribu tombak mereka harus menempuh perjalanan. Apa yang ada adalah rasa senang itu semata.

Input sumber gambar dokpri
Input sumber gambar dokpri

Ketika matahari hampir tenggelam di ufuk barat, setelah barisan itu melewati tanjakan yang cukup tinggi, dari atas kuda Sembada dan Sekar Arum menyaksikan sebuah pemandangan yang menabjupkan. Di depan mata mereka terlihat sebuah bangunan yang tinggi dan megah, berdiri dengan anggunnya di atas gundukan tanah yang tinggi pula.

"Itukah kakang Istana Giriwana Wawatan Mas ?"  Tanya Sekar Arum.

"Mungkin. Aku sendiri belum pernah melihatnya. Betapa megahnya Arum." Jawab Sembada.

Rasa hati keduanya ingin bergegas mempercepat jalan, agar lekas sampai di tempat bangunan itu. Namun barisan prajurit dan tiga pedati di depan mereka tak mungkin lagi mempercepat jalannya. Terpaksa keduanya harus sabar mengikuti irama kaki kuda yang setapak demi setapak melangkahkan kakinya.

Namun pada akhirnya merekapun sampai di depan bangunan megah itu. Tetapi terpaksa mereka harus menginap di barak prajurit yang terletak beberapa tombak dari pagar pembatas istana.

Sekar Arum mendapat tempat tersendiri di sebuah ruangan khusus. Sementara Sembada malam itu tidur dibarak yang dihuni belasan prajurit.  Karena semua capek telah menempuh perjalanan jauh, belum sampai tengah malam barak itu telah sepi sekali.

Esok harinya, saat matahari telah merangkak naik sampai sepenggalah, datang utusan dari istana menemui senopati Wira Manggala Pati. Kebetulan Sembada dan Sekar Arum tengah berada di ruang pimpinan tersebut. Mereka menyambut kedatangan utusan itu bersama.

"Rahayu Kakang Manggala. Rupanya kakang sudah siap menghadap pangeran." Kata utusan itu dengan ramahnya.

"Rahayu adi Tumambong, aku dengar adi telah diangkat jadi pimpinan prajurit dalam di istana baru ini. Selamat untukmu." Jawab Senopati.

"Ah bukan apa-apa jabatan itu, lebih menyenangkan bertugas di luar seperti kakang. Bisa pelesir bebas kesana kemari tanpa pengawasan." Kata Rakyan Dyah Tumambong.

"Tentu tidak demikian adi. Di manapun kita bertugas selalu terikat oleh aturan-aturan yang tak boleh dilanggar. Kita tak bisa bebas semaunya sendiri." Kata senopati.

"Hahaha. Baiklah baiklah. Aku yakin kakang telah melaksanakan tugas dengan baik. Lalu, siapakah dua orang ini ?" Tanya Dyah Tumambong sambil menatap Sembada dan Sekar Arum.

"Merekalah yang telah menunaikan tugas dari senopati Narotama, mengambil kembali pusaka kerajaan. Songsong Tunggul Naga dan Keris Jalak Saleksa telah kembali." Jelas senopati.

"Menarik. Keduanya sangat muda. Telah mampu selesaikan tugas besar." Kata Rakyan Dyah Tumambong sambil memandang Sembada dan Sekar Arum.

Namun dua orang muda-muda itu menangkap sedikit sikap aneh dari punggawa dalam istana Giriwana itu. Ia selalu memandang Sekar Arum berlama-lama, dan menjelajahi seluruh tubuh gadis itu dengan pandang matanya. Sungguh sebuah perbuatan tercela bagi seorang punggawa.

"Apakah keperluanmu adi ? " kata Senopati Manggala.

"Oh, ya ya Kakang Manggala. Aku diperintah pangeran untuk mengundangmu menghadap beliau.  Nanti setelah lewat tengah hari, kakang beserta dua orang yang telah mengambil pusaka kerajaan diminta menghadap." Kata Dyah Tumambong.

"Tidakkah itu terlalu siang. Sekarangpun aku sudah siap menghadap." Jawab Senopati.

"Itulah perintahnya. Masih banyak yang harus pangeran kerjakan yang lebih penting ketimbang mengurusi orang yang mengambil pusaka itu." Kata Dyah Tumambong sambil melirik Sembada.

Senopati Wira Manggala Pati menggigit bibirnya. Ia heran dengan sikap punggawa dalam itu. Dyah Tumambong kini jauh berbeda dengan dulu, saat masih jadi prajurit biasa. Ia sahabat yang baik, suka menolong, dan penuh perhatian kepada siapapun. Namun ketika diangkat untuk menjabat Rakyan Punggawa Dalam sikapnya telah berubah.

"Baik kakang, aku pamit. Tugas telah aku tunaikan." Kata punggawa itu.

"Terima kasih adi. Telah bersusah payah datang kemari sampai keringatmu terkuras keluar." Kata Senopati menyindir.

"Kerjaku memang berat kakang. Itulah sebenarnya aku lebih pingin jadi punggawa luar seperti kakang. Tak perlu banyak berpikir." Kata punggawa itu.

Setelah Rakyan Dyah Tumambong keluar dari ruang kerja Senopati Manggala, lelaki yang tangan kirinya buntung itu mengambil nafas panjang. Ia sedikit kesal dengan kawannya itu. Dan ia lepaskan rasa kesalnya dengan membuang nafas agak cepat dan keras. 

"Hah..."

"Betapa sikapnya telah menjadi sombong." Bisiklnya lirih.

"Punggawa itu sikapnya agak aneh, paman. Aku risih ditatapnya lama-lama. Betapa kurang ajar dia." Kata Sekar Arum.

"Yah. Hati-hatilah kalian berdua. Wataknya kini semakin kentara, meski dulu ia prajurit yang sangat baik. Rupanya ia tidak senang bila ada punggawa lain yang berhasil menunaikan tugas." Kata senopati.

"Terutama kamu Sekar Arum. Ada sedikit tanda-tanda ia menyukaimu. Jika ia sudah tertarik dengan wanita, gunung apipun akan ia terobos. Ia penganut Bhairawa Tantra." Lanjut senopati.

Sekar Arum menggigit bibirnya dan menatap wajah Sembada dengan pandangan yang bimbang. Mampukah pemuda itu mengimbangi ilmu Dyah Tumambong ?  Konon para pengikut Bhairawa Tantra rata-rata memiliki ilmu yang tinggi, dan selalu bersikap kejam terhadap musuh-musuhnya.

Namun belum habis Sekar Arum merenung tiba-tiba terdengar pintu ruang pimpinan prajurit itu diketuk orang. Senopati segera membuka pintu itu. Nampak lelaki berpakaian sederhana menunduk dengan takjim, sambil melakukan sembah grana.

"Rahayu paman Manggala. Selamat telah datang lagi di istana." Kata lelaki itu.

"Rahayu Kala Bajra, ada kepentingan apakah kau kemari. Apakah Senopati Narotama membutuhkan bantuanku ?" Tanya Senopati. Wira Manggala Pati mengetahui jika Kala Bajra abdi setia Narotama.

"Bukan Gusti Narotama tuan. Namun Pangeran Erlangga. Beliau mengharap paman Manggala menghadap sekarang juga. Beliau tengah bercengkrama dengan Gusti Narotama di balai Prabayeksa." Kata Kala Bajra.

Senopati agak terkejut. Baru saja Dyah Tumambong datang memberitahukan agar ia menghadap nanti setelah tengah hari.

"Kala Bajra, baru saja Dyah Tumambong kemari. Ia diutus pangeran agar aku menghadap nanti lewat tengah hari ? Mana yang benar?" Tanya senopati.

"Paman Dyah Tumambong kemari ? Dia tidak mendapatkan perintah itu. Akulah yang diutus. Jika paman tidak percaya ini tanda utusan pangeran yang disertakan padaku." Kata Bajra sambil mengeluarkan benda berbentuk cakra bergerigi delapan.

"Lantas apa maksud Dyah Tumambong kemari ?"

"Aku tidak mengerti paman Manggala. Saat beliau menyerahkan sirih dan pinang mungkin beliau dengar, pangeran memerintahku untuk mengundang paman. Mungkin saja beliau hanya memberitahu paman saja."

Senopati diam tidak menanggapi lebih lanjut penjelasan Kala Bajra. Namun ia semakin heran dengan tingkah laku Dyah Tumambong. Namun hal itu tidak ia utarakan kepada siapapun. Keganjilan perilaku punggawa dalam itu akan ia simpan sendiri, ia akan bertindak jika memperoleh bukti baru yang memperjelas motif Dyah Tumambong atas perilakunya yang ganjil itu.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun