Upacara pembakaran mayat korban perang di Kademangan Maja Dhuwur baru saja berlalu. Abu jasad mereka telah terwadahi puluhan cangkang kelapa gading, kini cangkang-cangkang kelapa gading itu dibawa masing-masing keluarga korban ke sungai, untuk melaksanakan upacara  terakhir, nganyut.
Dalam upacara nganyut ini abu jasad korban ditaburkan ke aliran sungai agar hanyut terbawa arus air, hingga sampai ke samudra luas tanpa tepi. Dengan cara itu mereka yakin, kerabat mereka yang meninggal telah kembali ke alam abadi. Bersatu kembali dengan asal usulnya semula.
Demikianlah ajaran tentang Panca Mahabhuta dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat Kademangan Maja Dhuwur. Mereka yakin bahwa jasad setiap makhluk hidup mengandung lima unsur, jika meninggal kelimanya harus kembali ke asalnya. Semua yang berasal dari perthivi atau tanah, bayu atau udara, apah atau air, teja atau cahaya / api, dan akasa atau ruang, harus kembali ke wujud semula.
Sementara beberapa cangkang kelapa gading lainnya dibawa ke balai kademangan. Cangkang-cangkang kelapa gading itu berisi abu jasad prajurit Bala Putra Raja, mentrik Gunung Arjuna, dan cantrik Cemara Sewu, yang juga menjadi korban.Â
Ikut terbunuh dalam perang karena membantu menyelamatkan kademangan Maja Dhuwur. Semua akan dibawa pulang oleh rombongan mereka masing-masing, untuk kelak diserahkan kepada keluarganya.
Suasana duka masih menyelimuti kademangan itu. Rasa capek belum juga hilang dari tubuh mereka. Upacara penghormatan terakhir terhadap korban-korban perang itu telah menghisap tenaga dan pikiran banyak pihak. Namun semuanya dapat berjalan dengan baik, penuh khikmat dan terasa sangat sakral.
Rangkaian upacara itu meski telah berlalu masih dikenang oleh semua kawula Maja Dhuwur. Peristiwa yang mengharukan itu mungkin tak bakal terulang lagi. Bahkan semua kawula tak ingin hal semacam itu terulang kembali. Hati mereka berharap mereka dapat hidup tenang, tentram dan dijauhkan dari bencana apapun. Termasuk bencana akibat perang sebagaimana baru saja terjadi.
Kelancaran rangkaian upacara penghormatan korban perang yang mengharukan itu berkat kehadiran maharesi Mpu Barada yang memimpin jalannya upacara. Sejak awal hingga akhir upacara tidak lepas dari petunjuk-petunjuknya. Seluruh kawula Maja Dhuwur tunduk dan patuh mengikuti semua sarannya.Â
Patulangan atau peti mayat berwujud hewan kaki empat, banteng untuk laki-laki dan lembu atau sapi untuk wanita, tidak dibuat sebanyak jumlah korban. Cukup dibuat beberapa buah saja namun ukurannya besar, sehingga satu patulangan bisa mewadahi beberapa jasad korban.
Demikian juga bade atau menara beratap tingkat, tempat di mana nanti patulangan diletakkan dan seterusnya akan dibakar, dibangun langsung di tempat di mana  upacara palebon akan diselenggarakan. Sehingga kawula tak perlu mengarak dan mengusung bade tersebut dari rumah duka.