Siang itu Sembada berada di hutan. Â Ia sedang mencari kayu bakar untuk simboknya. Â Persediaan telah habis, sebentar lagi musin hujan segera tiba.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berlari kencang. Â Gema suaranya berdentang terdengar di hutan di mana Sembada sedang bekerja. Â Pemuda itu memejamkan mata sejenak untuk konsentrasi, menajamkan pendengaranya.
"Dua ekor kuda berlari menuju balai kademangan." Bisik hatinya.Â
"Pasti ada hal yang sangat penting, nampak sekali kedua pengendara kuda itu tergesa-gesa."
Di jalan menuju balai kademangan memang terdapat dua ekor kuda sedang berpacu. Â Dari pakaian yang dikenakan mereka bukan warga kademangan. Â Seperti dua orang prajurit yang sedang mengemban tugas.
Dua ekor kuda itu melambatkan lari kudanya, kemudian berbelok masuk regol alun-alun kademangan Majaduwur. Â Di depan pendapa penunggangnya turun. Â Dua orang pengawal kademangan menghampirinya, dan bertanya apa keperluan tamu datang ke bale kademangan.
"Kami ingin bertemu ki demang. Â Apakah beliau di rumah?."
"Baik ki sanak, silahkan naik ke pendapa dan tunggu di sana. Kami akan mengikat kuda kalian di sana dulu." Â Kata pengawal kademangan Majaduwur sambil menunjuk deretan patok bambu di pinggir halaman.
Kedua prajurit itu menyerahkan kuda mereka, dan berjalan masuk ke pendapa kademangan.
Tidak berapa lama keluarlah Ki demang Majaduwur dari ruang utama menuju pendapa. Â Matanya tajam menatap dua orang berpakaian prajurit. Â Namun ia tidak tahu prajurit dari mana kedua orang itu.