"Apa itu happy ? " Â Tanya Mbok Mirah sambil mengkerutkan dahinya.
"Kata anakku. bahagia. Yah bahagia saja mbok. Â Entah bagaimana caranya. Â Pokoknya bahagia."
Sejak saat itu Mbok Mirah tidak lagi banyak mengingat anaknya. Hari-harinya ia isi dengan kerja, kerja, kerja. Â Entah apa saja yang dikerjakan. Â Pokoknya kerja, untuk mengalihkan pikiran dan perasaan tentang nasib anaknya.
Selesai sholat subuh di Mushola Kyai Kasmarli, ia bergegas pulang. Â Seperti biasa ia bersihkan halaman dengan sapu tua yang lidi-lidinya sudah memendek. Â Beberapa batang rumput ia cabut. Â Ia sorong dengan sapu itu masuk lubang sampah.
Dua ekor burung Prenjak menyanyi riang di dahan pohon kersen di pojok halaman. Â Mbok Mirah tersenyum mendengarnya. Â Selang sesaat dua ekor lagi datang. Â Maka ramailah halaman rumah Mbok Mirah yang sempit itu dengan ocehan mereka.
"Kata orang, jika si prenjak datang, pertanda bakal ada tamu. Â Siapa juga yang akan bertamu ke rumahku ?" ujarnya dalam hati.
Ketika matahari telah naik di punggung bukit Mbok Mirah telah berjalan menyelusuri tanggul sawah. Â Pagi itu juragan Karya panen cabe. Â Ia harus ikut membantu kerja. Â Sama sekali tak berharap bakal dapat upah. Â Karena selama ini ia telah tinggal menempati pekarangannya.
Namun juragan Karya orang baik. Â Meski hasil kerjanya sedikit, selalu ia mendapatkan upah. Â Bahkan kadang disamakan dengan mereka yang masih muda-muda. Â
Menjelang dzuhur petik cabe usai. Â Meski haus Mbok Mirah tetap bertahan. Â Sayang ia dengan puasanya. Â Kalau bisa ia lakukan kewajiban satu ini tuntas sebulan. Â Agar tak ada setitik rasa kurang hinggap di hatinya saat lebaran datang.
Ketika ia selesai wudhu hendak jalankan sholat dzuhur, terdengar suara mobil masuk halamannya. Â Seorang wanita menggendong anak dengan selendang turun lewat pintu depan mobil. Â Bayi dalam gendongannya nampak tidur pulas. Â Seorang anak laki-laki usia tujuh tahunan keluar dari pintu belakang.
Lelaki pendek gemuk turun dari pintu stang. Â Ia menarik nafas dalam. Â Ia pandangi rumah di depannya dengan mata mengeriyip. Rumah yang ditinggalkannya lima belas tahun lalu kini miring. Â Disongkok empat batang bambu agar tidak roboh.