Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 13. Barisan Pagar Dusun

23 Maret 2024   15:42 Diperbarui: 18 September 2024   19:04 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dokpri

BARISAN PAGAR DUSUN

Oleh Wahyudi Nugroho

Sembada tersenyum dan menundukkan diri.  Sikapnya itu terbaca oleh dua pemuda Majaduwur itu.  Memang benarlah ia yang telah menolong mereka.  Seorang yang berilmu biasanya memang rendah hati.

"Kalau aku masuk Barisan Pagar Dusun, bagaimana ?"

"Itu memang syaratnya.  Masuk Barisan Pagar Dusun dulu baru kalau ada pendadaran anggota pengawal bisa ikut."

"Aku ingin jadi anggota Barisan Pagar Dusun Saja.  Tidak berat tugasnya."

"Hahahaha, baiklah.  Datanglah ke rumahku.  Nanti akan aku perkenalkan dengan Ki Bekel di dusun ini.  Sekalian aku laporkan bahwa kau mau masuk Barisan Pagar Dusun Majalegi."

Mereka berpisah setelah ada kemauan Sembada bergabung untuk memperkuat barisan penjaga keamanan kademangannya.

Sembada melanjutkan usahanya mencari ikan.  Seperti Kakek Narto, ia ambil ikan-ikan yang besar saja dan dimasukkan ke dalam kepis wadah ikan yang baru dibelinya.  Ketika matahari hampir tenggelam kepis sudah penuh dengan ikan yang besar-besar.

"Pasti simbok akan senang.  Besok ia bisa menjualnya ke pasar sebagian."  Bisik hatinya.

Sementara itu Kartika masih bercakap-cakap dengan Sambaya di rumah pemuda Majalegi itu. Mereka berdua sama-sama suka dengan sifat Sembada.  Namun sama-sama heran kenapa ia tidak mau terbuka bahwa dirinyalah yang menolong mereka.

"Sikapnya terlalu hati-hati.  Apakah dia tidak mau kehadirannya diketahui Handaka,  sehingga ia menolak jadi anggota pasukan pengawal kademangan, tapi lebih memilih sebagai anggota Barisan Pagar Dusun saja."

"Bisa jadi Kakang.  Masihkah kakang ingat ucapan Handaka saat itu kepadanya.  Ia dituding lancang, pamer kemampuan, dan merendahkan pasukan pengawal kademangan.  Sembada barangkali seorang perasa juga, ia tidak ingin muncul di Majaduwur menemui seorang yang menganggapnya deksura."

"Aku semakin tertarik berkawan dengannya."

"Aku juga kakang.  Nampaknya ia memang menyimpan ilmu yang tinggi.  Namun tidak ingin orang lain menganggapnya sebagai pendekar.  Ia ingin hidup sebagai orang biasa di tengah-tengah kita."

"Jika demikian kita tak perlu bercerita tentang kehadirannya di kademangan.  Jika Handaka mendengar nanti bisa timbul persoalan. Dua pemuda itu wataknya sangat berbeda. Kita rahasiakan saja"

Kartika mengangguk-anggukkan kepala. Setelah agak malam, Kartika pamit pulang ke dusun Jambu.

Sementara itu Sembada sedang merebahkan badannya di amben bambu di kamarnya.  Tangannya menimang-nimang cambuk merah, yang ujungnya tersimpul beberapa keping baja yang terikat kuat.

Keping-keping baja yang tajam itulah yang mampu melukai lawannya.  Setiap sentuhan bisa menimbulkan guratan atau bahkan luka tergantung ia menyalurkan tenaganya.  Bahkan dari ujung cambuk itu bisa meloncat seberkas sinar jika ia menyalurkan tenaga saktinya.

Telah cukup lama ia tidak berlatih.  Meski setiap hari dia tidak pernah berhenti kegiatan yang memeras keringat, namun melatih ilmu harus dilakukan setiap saat.  Agar semakin lama semakin mantap ia menguasainya.

Tak secuwilpun keinginan ia mencari lawan.  Tapi pantang baginya menghindar dari musuh.  Apalagi terhadap orang-orang yang jelas telah menyimpang dari adat pergaulan yang baik.  Seperti Gagakijo.  Ia bertekad suatu saat akan menemuinya dan mengadu kesaktian dengannya.

Ia mengingat kembali pesan Kakek Ardi, atau Ki Kidang Gumelar, yang telah berbaik hati memberi tahu tentang ilmu yang tersimpan di dalam goa.  Cambuk itu adalah senjata sakti yang dihadiahkan kepadanya oleh orang aneh itu.

Sembada kemudian bangkit dari tidurnya.  Ia lingkarkan cambuknya di pinggang.  Kemudian turun amben bambunya dan keluar dari kamar.  Ia sejenak mempertajam pendengarannya, ketika terdengar nafas Mbok Darmi sudah teratur, berarti wanita tua itu sudah tidur.  Ia segera keluar rumah lewat pintu dapur.

Ia berjalan keluar halaman, setelah agak jauh dari rumahnya segera digunakan ilmu peringan tubuhnya.  Dengan gesit dan lincah serta berkecepatan tinggi ia lari menuju sungai.  Di sanalah ia temukan siang tadi sebuah tempat yang dapat dipakai untuk membaja diri.

Setelah berhenti sejenak, dan yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang yang sedang mengawasinya, pemuda itu segera meloncat ke sebuah batu.  Kemudian melenting dengan ringannya ke batu lain.  Demikian terus ia lakukan berulang-ulang sambil melontarkan jurus-jurus ilmu yang ia pelajari di goa.

Meski malam begitu gelap, dicahayai sinar bintang-bintang di langit saja, namun penglihatan Sembada amatlah tajam.  Dari jarak tertentu ia mengenali mana batu yang posisinya agak goyah jika diinjak, dan mana yang kokoh untuk jadi tumpuan ia melenting.

Jika ada mata yang memandangnya tentu orang itu akan terkesima.  Tubuh tegap berotot itu seperti kapuk yang ringan melayang-layang dari satu batu ke batu yang lain.  Bahkan tubuh itu dengan luwesnya berjumpalitan di udara.

Ketika terdengar ayam jantan berkokok yang pertama kali, Sembada menghentikan latihan keringanan tubuhnya.  Ia ingin mengakhiri latihan malam itu dengan mencoba kembali ilmu pamungkas yang telah dimilikinya.

Ia keluarkan cambuknya dari balik baju yang telah basah oleh keringat.  Ia pegangi tangkainya dengan tangan kanan, tangan kirinya memegang ujung cambuk itu.  Kedua tangannya ia angkat ke atas, seperti orang yang tengah melakukan sembah kepada Sang Maha Dewa, kemudian menariknya ke bawah hingga keduanya sampai di dada.

Setelah getaran hawa sakti mengalir dari jantungnya menuju tangan kanannya, ia putar cambuknya hingga menimbulkan suara dengung yang dahsyat.  Kemudian ia sentakkan ujung cambuk itu mengarah ke sebuah batu hitam di dekat tebing sungai.

Terlihat cahaya putih kebiruan meloncat dari ujung senjata itu, kemudian meluncur kesasaran yang ditujunya, sejenak kemudian terdengar ledakan dahsyat.  

"Blaaarrr" Batu hitam itu hancur menjadi debu.

Sembada diam meredakan getaran hawa saktinya.  Dan menariknya kembali masuk jantungnya.  Kemudian ia mengamati batu hitam yang telah hancur itu.  Ia menarik nafas dalam.  Ia mengucap syukur kepada Hyang Agung telah dikaruniai ilmu yang dahsyat itu.

Sembada mencium tangkai cambuknya yang berbau wangi karena sering diolesinya dengan minyak melati.

Sembada duduk sebentar di atas sebuah batu.  Ia pandangi air yang mengalir pelan di bawahnya.  Ketika ayam telah berkokok berulang kali ia segera melompat ke tebing sungai.  Sebentar lagi matahari akan segera memancarkan sinarnya ke bumi.

Sampai di rumah ia langsung ke pakiwan.  Dengan timba dari bambu petung ia mengisi bak mandi sampai penuh.  Sebentar lagi simboknya tentu akan bangun, untuk pergi ke pasar menjual ikan hasil tangkapannya.

Pemuda itu mengambil sapu lidi dari tangkai daun aren yang didapatnya dihutan saat mencari kayu.  Ia bersihkan halaman rumah bagian depan, sisi kanan dan kiri rumah serta belakang.  Baru ia baringkan tubuhnya di amben bambu depan rumah.

Ketika Simboknya keluar rumah hendak pergi ke pasar, Sembada tertidur dengan nyenyaknya.  Wanita itu tidak mau mengganggunya, ia biarkan anaknya yang mungkin tidak tidur semalam, karena harus ikut menjaga dusun Majalegi di gardu perondan.

Wanita itu berjalan meninggalkan rumah, sambil mendendangkan tembang pucung dengan lirih.  Suaranya merdu membelah kabut pagi.


Ngelmu iku, kalakone kanthi laku
Lekase klawan khas
Tegese khas nyantosani
Setya budya pangekese dur angkara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun