Mohon tunggu...
wahyudi hardianto
wahyudi hardianto Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Literasi

Penggiat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Radikalisme di Indonesia: Fakta, Fiksi atau Fiktif?

2 November 2019   11:06 Diperbarui: 2 November 2019   11:26 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Radikalisme Di Indonesia; Fakta, Fiksi Atau Fiktif

Oleh: Wahyudi Hardianto

Ketua Umum Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Islam Indonesia

 Pemberitaan yang begitu massif beberapa hari belakangan ini di media televisi, media cetak, media online dan di lini massa media sosia lseperti FB, Group Whatsapp, Instagram, Twitter dan yang lainnya soal diskursus radikalisme dan beberapa varian turunannnya seperti celana cingkrang, penggunaan cadar, terorisme, intoleransi dan lain sebagainya membuat kegaduhan baru ditengah-tengah pergulatan kehidupan berbangsa. Dari kalangan elit di Jakarta sampai di desa-desa.

Salah satu penyebabnya adalah getolnya para pemangku kepentingan negara sekelas Menteri seperti Menteri Agama Jenderal Fahrul Rozi, Menko Polhukam Prof.Mahfud MD, bahkan sampai Presiden  Jokowipun merasa begitu amat sangat penting menyampaikan diksi radikalisme dalam siding kabinet dan ingin menggantinya dengan diksi yang lain. Hal ini dimkasudkan oleh beliau bahwa gerakan radikalisme dengan simplifikasi terminology yang dikehendaki oleh pemerintah memang benar-benar ada, berbahaya dan mengancam keselamatan negara.

Jika kita amati dengan cara seksama, arif dan bijaksana, penggunaan diksi radikalisme dalam beberapa forum diskusi, talk show di televisi, pemeberitaan media beberapa hari belakangan ini seoalah bertautan atau minimal berdekatan dengan pemberitaan soal matinya gembong terorisme internasional Abu Bakar Al- Baghdadi, Big Boss ISIS yang menjadi musuh utama Presiden negara yang konon katanya paling hebat didunia yaitu Amerika Serikat, Donal Trump. Bahkan yang mulia Mr. Trump harus mengumumkan sendiri kematian sosok gembong teroris internasional tersebut yang konon ceritanya mati karena bunuh diri dsibabkan tersudut oleh pasukan elit AS di Suriah. Konon pula jasadnya dibuang ke laut.

Cerita ini mengulang peristiwa yang sama ketika nama ISIS belum pernah ada di kepala masyarakat dunia, Al Qaeda dengan tokoh sentralnya Osama Bin Laden atau Abu Musab Al Zarkawi telah menjadi cerita kita bersama dan tertuduh sebagai tokoh utama gembong terorisme internasional. Nasibnya juga hampir sama dengan Abu Bakar Al-Baghdadi, konon matinya akibat sergapan tentara Amerika Serikat di Abbottabad, Pakistan dan jenazahnya konon juga dibuang ke laut.

Pengumuman kematian Osama Bin Laden oleh pemerintah AS pada tahun 2012 menjadi misteri hingga saat ini. Setidaknya ada versi yang berbeda soal kematian tokoh Al Qaeda ini. Fakta ini bisa kita baca dari hasil investigasi yang dilakukan oleh Berkan Yashar, mantan politisi Turki yang konon ceritanya pernah menjadi agen CIA. Begitu juga kita perlu membaca dan mengetahui hasil investigasi dari jurnalis penerima Pulitzzer Award, Seymour Hersh, yang juga mengungkap fakta kematian Osama Bin Laden berbeda dengan yang pernah dikalaim oleh Pemerintahan Presidan Barrack Obama kala itu.

Siapapun kita, apapun agama yang kita anut, dari mana asal kita, di negara manapun kita berdiam, sebagai makluk sosial dan sebagai komunitas masyarakat dunia, radikalisme dan terorisme ada musuh bersama.

Diskursus Radikalisme Di Indonesia, Fakta, Fiksi atau Fiktif

" Pansel tidak mau kecolongan ada yang kecenderungan ke radikalisme, tapi tentu penilaiannya dilakukan secara psikologis, klinis dan data --data dari BNPT", kata Yenti Garnasih ketua pansel capim KPK, 17/06/2019 di Kantor Istana Presiden.

" Kami pastikan 10 Capim KPK yang sudah diseleksi tidak terpapar paham radikalisme itu pasti". Yenti Garnasih, Senin 9/9/2019 di Komisi III DPR RI.

"Saya selalu berpandangan jauh ke depan, kalau ini dibiarkan, ini sudah 3 persen TNI. BUMN banyak, PNS juga banyak, kemudian mahasiswa, siswa banyak. Ini kalau dibiarkan terus berlipat-lipat," Menhan Kabinet Indonesia Kerja, Jakarta, Jumat (10/7/2019).

"Pemikiran ideologi di luar Pancasila menjadi netral, atau bahkan dapat kembali mendukung NKRI. Harus diupayakan supaya bisa menjadi netral. Syukur malah jadi mendukung kembali NKRI sehingga ini menjadi menjadi kewajiban kita semua supaya satu visi dan misi bahwa kecintaan NKRI harga mati. Masalah radikalisme menjadi peringatan bagi kita semua, ini sungguh merupakan ancaman dan itu tidak boleh terjadi," Wawan Purwato, juru bicara BIN, Museum Nasional Jakarta, 7/8/2019

"Beliau berurusan dengan radikalisme........" Presiden Joko Widodo, Pengumuman Kabinet Indonesia Maju, 21/10/2019

Diksi dan narasi radikalisme yang begitu sangat massif tersaji di ruang publik dalam beberapa waktu belakangan mengalami puncak polemik ketika Menteri Agama mneyampaikan soal negara khilafah, celana cingkrang dan pakaian cadar yang terindikasi menjadi bagian penting keberagamaan ummat muslim di Indonesia dan hubungnnya dengan  radikalisme. Dan presiden Joko Widodo pada Rapat Kabinet Terbatas bidang Polhukam, 31/10/2019  menyampaikan pesan meminta kepada jajarannya melakukan upaya serius untuk mencegah meluasnya gerakan radikalisme dan perlunya membuat istilah baru dengan mnerapkan label "manipulator agama".

Keseriusan pemerintah dan gonjang-ganjing problem radikalisme dalam ruang publik belakangan juga dibumbui dengan tuduhan terhadap Prof. DR. Din Syamsudin, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan seabrek tugas-tugas penting lainnya dalam bidang perdamaian dunia terutama dalam bidang agama sebagai salah satu tokoh teroris dunia, sebagaimana yang dilansir Majalah Al Mashad terbitan Yaman pada tahun 2014 silam, dan kini menjadi komoditas kembali di ruang publik.

Rentetan peristiwa-peristiwa soal radikalisme diatas diatas menjadi sebuah utopia ketika definisi makna, arti kata, teori dan sejarah penggunaan diksi radikalisme menjadi bias karena digunakan secara liar oleh para pemangku kepentingan. Jangan kerena tindakan oleh oknum, sekelompok oknum, atau organisasi tertentu yang dianggap bagian dari radikalisme dan menjadi ancaman serius bagi negara, kemudian dianggap sebagai persoalan bangsa secara kesluruhan dan menyasar dan menuduh sekelompok orang atau paham kebergamaan orang dan bahkan yang lebih paranya menuduh agama tertentu sebagai sarang dari bersemainya paham radikalisme. Ini sungguh sangat menyakitkan, bahkan ini tidak akan memabawa dampak positif bagi cita-cita bangsa menuju negeri yang aman, makmur, sejahtera, adil dan sentosa. Bahkan visi dan misi Presiden akan Indonesia Maju akan susah terwujud, karena persatuan dan kesatuan kita akan terus terkoyak.

Pengalaman pahit telah mengajarkan kita ketika zaman orde baru. Orang bisa dianggap sebagai bagian dari komunis ketika ia mengkoleksi buku Karl Max atau Pengagum karya Pramoedya Ananta Noer. Dan kita juga tidak lupa bahwa kesan Islam dianggap dan diidentikkan dengan redikalisme dan terorisme pesca peristiwa serangan World Trade Center pada 2001 silam. Pascaperistiwa itu terjadilah penjatuhan rezim Husni Mubarak di Iraq. Kemudian Moammar Khadapi di Libya dan hingga saat ini beberapa negara timur tengah tengah dilanda perang saudara, Bahkan Suriah kini terus          dilanda perpecahan dan negaranya dianggap sebagai tempat bersemainya para gembong ISIS.

Kita tidak juga menampik bahwa ada oknum atau kelompok oknum dalam Islam di Indonesia yang berfikir dan bertindak radikal bahkan melancarkan aksi teror sehingga ia disebut teroris. Namun jauh lebih penting kita harus mampu mengurai bahwa pikiran dan tindakan radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme dia tidak berdiri sendiri. Kebencian terhadap pemerintah atau penguasa yang disebabkan oleh perilaku dan sikap tidak adil terhadap masalah ekonomi, tegaknya hukum yang adil, bisa jadi ikut andil menumbuhkan bibit-bibit radikalisme itu. Atau bangunan narasi yang selalu menyudutkan kelompok ummat Islam sebagai biang radikalisme juga bisa jadi memunculkan gerakan radikalisme sesungguhnya yang mengancam negara.

Untuk itulah kita bisa menilai apakah narasi dan diksi soal radikalisme ini sebuah fakta serius yang harus kita urai bersama dan dicarikan jalan keluaranya.  Atau hanya sekedar fiksi seperti dalam cerita-cerita sinetron dan dalam buku-buku novel yang hanya enak dan indah untuk dilihat atau ditonton. Atau juga Fiktif, cerita peristiwa kebohongan belaka, yang dikarang demi sesuatu yang kita tidak paham. Hanya Mata Kepala dan Mata bathin kitalah yang bisa menjawabnya. Wallahu A'lam Bisshwab. Semoga Indonesia Tetap Maju. Semoga Negeri Kita Menjadi Negeri Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafuur. Negeri Gemah Ripah Loh Jinawe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun