"Pemikiran ideologi di luar Pancasila menjadi netral, atau bahkan dapat kembali mendukung NKRI. Harus diupayakan supaya bisa menjadi netral. Syukur malah jadi mendukung kembali NKRI sehingga ini menjadi menjadi kewajiban kita semua supaya satu visi dan misi bahwa kecintaan NKRI harga mati. Masalah radikalisme menjadi peringatan bagi kita semua, ini sungguh merupakan ancaman dan itu tidak boleh terjadi," Wawan Purwato, juru bicara BIN, Museum Nasional Jakarta, 7/8/2019
"Beliau berurusan dengan radikalisme........" Presiden Joko Widodo, Pengumuman Kabinet Indonesia Maju, 21/10/2019
Diksi dan narasi radikalisme yang begitu sangat massif tersaji di ruang publik dalam beberapa waktu belakangan mengalami puncak polemik ketika Menteri Agama mneyampaikan soal negara khilafah, celana cingkrang dan pakaian cadar yang terindikasi menjadi bagian penting keberagamaan ummat muslim di Indonesia dan hubungnnya dengan  radikalisme. Dan presiden Joko Widodo pada Rapat Kabinet Terbatas bidang Polhukam, 31/10/2019  menyampaikan pesan meminta kepada jajarannya melakukan upaya serius untuk mencegah meluasnya gerakan radikalisme dan perlunya membuat istilah baru dengan mnerapkan label "manipulator agama".
Keseriusan pemerintah dan gonjang-ganjing problem radikalisme dalam ruang publik belakangan juga dibumbui dengan tuduhan terhadap Prof. DR. Din Syamsudin, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan seabrek tugas-tugas penting lainnya dalam bidang perdamaian dunia terutama dalam bidang agama sebagai salah satu tokoh teroris dunia, sebagaimana yang dilansir Majalah Al Mashad terbitan Yaman pada tahun 2014 silam, dan kini menjadi komoditas kembali di ruang publik.
Rentetan peristiwa-peristiwa soal radikalisme diatas diatas menjadi sebuah utopia ketika definisi makna, arti kata, teori dan sejarah penggunaan diksi radikalisme menjadi bias karena digunakan secara liar oleh para pemangku kepentingan. Jangan kerena tindakan oleh oknum, sekelompok oknum, atau organisasi tertentu yang dianggap bagian dari radikalisme dan menjadi ancaman serius bagi negara, kemudian dianggap sebagai persoalan bangsa secara kesluruhan dan menyasar dan menuduh sekelompok orang atau paham kebergamaan orang dan bahkan yang lebih paranya menuduh agama tertentu sebagai sarang dari bersemainya paham radikalisme. Ini sungguh sangat menyakitkan, bahkan ini tidak akan memabawa dampak positif bagi cita-cita bangsa menuju negeri yang aman, makmur, sejahtera, adil dan sentosa. Bahkan visi dan misi Presiden akan Indonesia Maju akan susah terwujud, karena persatuan dan kesatuan kita akan terus terkoyak.
Pengalaman pahit telah mengajarkan kita ketika zaman orde baru. Orang bisa dianggap sebagai bagian dari komunis ketika ia mengkoleksi buku Karl Max atau Pengagum karya Pramoedya Ananta Noer. Dan kita juga tidak lupa bahwa kesan Islam dianggap dan diidentikkan dengan redikalisme dan terorisme pesca peristiwa serangan World Trade Center pada 2001 silam. Pascaperistiwa itu terjadilah penjatuhan rezim Husni Mubarak di Iraq. Kemudian Moammar Khadapi di Libya dan hingga saat ini beberapa negara timur tengah tengah dilanda perang saudara, Bahkan Suriah kini terus      dilanda perpecahan dan negaranya dianggap sebagai tempat bersemainya para gembong ISIS.
Kita tidak juga menampik bahwa ada oknum atau kelompok oknum dalam Islam di Indonesia yang berfikir dan bertindak radikal bahkan melancarkan aksi teror sehingga ia disebut teroris. Namun jauh lebih penting kita harus mampu mengurai bahwa pikiran dan tindakan radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme dia tidak berdiri sendiri. Kebencian terhadap pemerintah atau penguasa yang disebabkan oleh perilaku dan sikap tidak adil terhadap masalah ekonomi, tegaknya hukum yang adil, bisa jadi ikut andil menumbuhkan bibit-bibit radikalisme itu. Atau bangunan narasi yang selalu menyudutkan kelompok ummat Islam sebagai biang radikalisme juga bisa jadi memunculkan gerakan radikalisme sesungguhnya yang mengancam negara.
Untuk itulah kita bisa menilai apakah narasi dan diksi soal radikalisme ini sebuah fakta serius yang harus kita urai bersama dan dicarikan jalan keluaranya. Â Atau hanya sekedar fiksi seperti dalam cerita-cerita sinetron dan dalam buku-buku novel yang hanya enak dan indah untuk dilihat atau ditonton. Atau juga Fiktif, cerita peristiwa kebohongan belaka, yang dikarang demi sesuatu yang kita tidak paham. Hanya Mata Kepala dan Mata bathin kitalah yang bisa menjawabnya. Wallahu A'lam Bisshwab. Semoga Indonesia Tetap Maju. Semoga Negeri Kita Menjadi Negeri Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafuur. Negeri Gemah Ripah Loh Jinawe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H