"Orang juga sudah diberi ati wening, kebeningan hati yang selalu mengajak eling. Ketika kamu melanggar suara kebeningan hatimu sendiri, kamu dibilang ora eling, lupa akan kesejatian yang selalu menganjurkan kebaikan bagi dirimu sendiri. Karena lupa akan kebaikan, kamu mendapat kebalikannya, keburukan." (hal.84)
Mukri bertanya kepada Eyang Mus: apakah seorang penderes seperti Mukri tetap wajik berpuasa sementara ia harus naik-turun 40 pohon kelapa pagi dan sore hari. "...bila berpuasa kaki saya sering gemetar ketika naik-turun pohon kelapa. Apalagi bila hari hujan."
"Dhawuh berpuasa hanya untuk mereka yang percaya, dan dasarnya adalah ketulusan dan kejujuran. Intinya adalah pelajaran tentang pengendalian dorongan rasa. Mukri, jika kamu kuat melaksanakan puasa meski pekerjaan berat, dhawuh itu sebaiknya kau laksanakan.
"Bila tidak kuat?" potong Mukri
"Di sinilah pentingnya kejujuran itu. Sebab kamu sendirilah yang paling tahu kuat-tidaknya kamu berpuasa sementara pekerjaanmu memang banyak menguras tenaga..."
"Jelasnya, bila saya tak kuat berpuasa karena pekerjaan yang sangat berat, saya boleh berbuka?"
"Nanti dulu, aku belum selesai bicara. Meski kalian bisa memperoleh kemudahan, jangan lupa bahwa dalam bulan puasa seperti sekarang ini, kalian tetap diminta berlatih mengendalikan nafsu, perasaan, dan keinginan. Karena, itulah inti ajaran puasa." (hal.169)
"...Sebab aku tahu kalian bekerja sangat berat dan berbahaya, sementara pekerjaanku hanya memelihara sebuah kolam ikan, itu pun tidak seberapa luas. Itulah, maka aku tak berani mengatakan puasamu harus seperti puasaku." (hal. 170)
"...Aku malah khawatir surau yang terlalu bagus akan membuat suasana terasa asing bagi orang-orang yang biasa tinggal di rumah berdinding bambu dan tidur di atas pelupuh." (hal.200)
"Yang diseru dari surau kecil ini adalah hati dan jiwa manusia. Yang dipuji di surau ini adalah Gusti Allah Yang Maha Mendengar. Jadi, apa perlunya pengeras suara?" (hal. 293)
info buku:Â