Sekilas Novel Berkisar Merah
Novel Berkisar Merah berlatar kehidupan warga penderes nira dan pembuat gula merah di sebuah kampung bernama Karangsoga. Para penderes membawa pongkar (tabung dari bambu untuk mewadahi tetesan nira), memanjat tingginya pohon kelapa, bertaruh nyawa. Sementara, setelah bekerja keras sampai tetesan nira diproses menjadi gula merah, mereka harus pasrah dengan harga jual yang ditentukan oleh tengkulak. Kadang tinggi, namun seringkali tidak sebanding dengan tenaga dan resiko yang dihadapi dalam membuat gula.
Tokoh utama novel ini adalah Lasi, perempuan cantik keturunan tentara Jepang. Lasi, perempuan yang malang ini, separuh lebih hidupnya mengalami kegetiran, kecil diolok teman sepermainan, menikah namun tidak punya anak, sampai kemudian dikhianati suaminya. Marah dengan kondisi rumah tangganya, Lasi memilih berpisah dengan sang suami, Darsa, untuk kemudian terjebak dalam bisnis birahi kelas atas di Jakarta. Sampai kemudian, Lasi bertemu dengan Kanjat, teman sepermainannya waktu kecil.
Salah satu tokoh yang menarik untuk saya adalah Eyang Mus. Beliau adalah tetua desa Karangsoga, perawat surau, orang alim yang sering didatangi warga desa jika sedang menghadapi masalah. Ahmad Tohari begitu cemerlang dalam membuat berbagai petuah di dalam novel ini, lewat tokoh Eyang Mus. Dalam menghadapi beragam pertanyaan dari warga desa, Eyang Mus tidak pernah menyalah-nyalahkan warganya. Sama sekali tidak ada jargon surga-neraka dalam penuturannya.Â
Semua disampaikan dengan mudah dinalar. Dengan lemah lembut, ia mengajak warna karangsoga yang curhat kepadanya untuk melakukan refleksi, berpikir dan seringkali berhasil membuat sang penanya mendapat pencerahan.Â
Petuah bijak ini sayang jika dibiarkan tersembunyi di dalam ratusan lembar halaman novel ini. Untuk memudahkan saya, dan mudah-mudahan juga untuk pembaca, saya akan tampilkan beberapa kutipan menarik yang disampaikan oleh Eyang Mus di novel ini.
"Ya. Ikhtiar harus tetap dijalankan. Juga doa. Bila hendak memberikan welas-asih, Gusti Allah tidak kurang cara." (hal.45)
"Memang, wong lanang punya wenang. Tapi sekali-sekali tak boleh sewenang-wenang" (hal.57)
"Kukira kamu memang salah. Kamu telah menyakiti istrimu. Kamu juga telah mengabaikan angger-angger, aturan Gusti Allah dalam tata krama kehidupan. Tetapi jangan terlalu sedih, sebab kesalahan terhadap Gusti Allah mudah diselesaikan. Gusti Allah jembar pangapurane, sangat luas ampunannya. Kamu akan segera mendapat ampunan jika kamu bersungguh-sungguh memintanya. Gusti Allah terlalu luhur untuk dihadapkan kepada kesalahan manusia, sebesar apapun kesalahan itu." (hal. 82)
"Kukira, hal pertama yang pantas kamu lakukan adalah berani menerima dirimu sendiri, termasuk menerima kenyataan bahwa kamu telah melakukan kesalahan. Tanpa keberanian demikian kamu akan lebih susah." (hal.83)
"Kamu harus ngundhuh wohing pakarti, harus memetik buah perbuatan sendiri; suatu hal yang niscaya pada siapapun." (hal.83)
"Orang juga sudah diberi ati wening, kebeningan hati yang selalu mengajak eling. Ketika kamu melanggar suara kebeningan hatimu sendiri, kamu dibilang ora eling, lupa akan kesejatian yang selalu menganjurkan kebaikan bagi dirimu sendiri. Karena lupa akan kebaikan, kamu mendapat kebalikannya, keburukan." (hal.84)
Mukri bertanya kepada Eyang Mus: apakah seorang penderes seperti Mukri tetap wajik berpuasa sementara ia harus naik-turun 40 pohon kelapa pagi dan sore hari. "...bila berpuasa kaki saya sering gemetar ketika naik-turun pohon kelapa. Apalagi bila hari hujan."
"Dhawuh berpuasa hanya untuk mereka yang percaya, dan dasarnya adalah ketulusan dan kejujuran. Intinya adalah pelajaran tentang pengendalian dorongan rasa. Mukri, jika kamu kuat melaksanakan puasa meski pekerjaan berat, dhawuh itu sebaiknya kau laksanakan.
"Bila tidak kuat?" potong Mukri
"Di sinilah pentingnya kejujuran itu. Sebab kamu sendirilah yang paling tahu kuat-tidaknya kamu berpuasa sementara pekerjaanmu memang banyak menguras tenaga..."
"Jelasnya, bila saya tak kuat berpuasa karena pekerjaan yang sangat berat, saya boleh berbuka?"
"Nanti dulu, aku belum selesai bicara. Meski kalian bisa memperoleh kemudahan, jangan lupa bahwa dalam bulan puasa seperti sekarang ini, kalian tetap diminta berlatih mengendalikan nafsu, perasaan, dan keinginan. Karena, itulah inti ajaran puasa." (hal.169)
"...Sebab aku tahu kalian bekerja sangat berat dan berbahaya, sementara pekerjaanku hanya memelihara sebuah kolam ikan, itu pun tidak seberapa luas. Itulah, maka aku tak berani mengatakan puasamu harus seperti puasaku." (hal. 170)
"...Aku malah khawatir surau yang terlalu bagus akan membuat suasana terasa asing bagi orang-orang yang biasa tinggal di rumah berdinding bambu dan tidur di atas pelupuh." (hal.200)
"Yang diseru dari surau kecil ini adalah hati dan jiwa manusia. Yang dipuji di surau ini adalah Gusti Allah Yang Maha Mendengar. Jadi, apa perlunya pengeras suara?" (hal. 293)
info buku:Â
Judul : Berkisar Merah
Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2011
259 hal.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H