Mohon tunggu...
Agus Wahyudi
Agus Wahyudi Mohon Tunggu... Akuntan - Guru SD, mencoba belajar menulis dan mendongeng

Guru SD, sekarang tinggal di Lampung.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Film: Seaspiracy (2021) Jangan Makan Ikan Laut!

3 Juli 2021   10:37 Diperbarui: 3 Juli 2021   10:58 1643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesan yang paling kuat dari film ini adalah, bahwa keputusan kita memakan ikan laut bisa jadi adalah suatu kesalahan. 

Lho kok bisa begitu? Ya, detil-detil yang ditampilkan secara brilian dari film dokumenter yang disutradarai oleh Ali Tabrizi, membawa kita pada kesimpulan tersebut. Menonton film dokumenter ini serasa menonton film thriller buat saya, begitu mendebarkan.

Film ini diawali dengan penuturan Ali yang begitu mencintai lautan setelah melihat pertunjukan lumba-lumba dan paus di sebuah taman laut. Setelahnya, ia terobsesi untuk mengeksplor lautan sebagaimana salah satu idolanya: Sylvia Earle.

Awalnya ia tertarik dan khawatir dengan polusi di samudra akibat banyaknya sampah plastik. Ali mendonasikan uang secara online kepada lembaga nirlaba yang dalam kampanyenya berupaya mengatasi sampah plastik di samudra. 

Ia juga secara rutin mengambil sampah plastik di pantai, mengurangi penggunaan plastik yang ia praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Sampai kemudian, Ali menemukan berita, melakukan investigasi lalu berkesimpulan bahwa kampanye antiplastik membawa dampak terlampau kecil. 

Masalah yang lebih besar penyebab rusaknya ekosistem adalah industrialisasi lautan. Penangkapan dan pembantaian ikan besar-besaran demi uang tanpa peduli dengan efeknya.

Tahu dengan resiko yang dihadapi (dikejar polisi), Ali bersama rekannya merekam pembantaian lumba-lumba di Taiji yang dilakukan secara rutin oleh industri perikanan Jepang. 

Ratusan lumba-lumba digiring ke pantai, untuk kemudian dibantai. Lumba-lumba dibunuh karena dianggap sebagai kompetitor, hama bagi kapal penangkap ikan. Hewan lucu dan pintar itu dianggap terlalu banyak makan ikan yang akan ditangkap oleh kapal besar penangkap ikan. 

Karena lumba-lumba makan terlalu banyak ikan, ia perlu dibunuh supaya tangkapan ikan untuk industri bisa lebih banyak lagi. Rasa tidak nyaman saya berlanjut melihat banyaknya ikan hiu ditangkap, kemudian dipotong siripnya dan sisanya tubuhnya dibuang ke lautan begitu saja karena tidak bernilai ekonomi. 

Berkarung-karung sirip ikan hiu kering diturunkan dari truk untuk dibawa ke toko di daratan Cina dan Hong Kong. Lagi-lagi Ali mendapat penolakan merekam gambar itu.

Ali saat memegang sirip hiu kering siap jual di Hong Kong. sumber: bbc.com
Ali saat memegang sirip hiu kering siap jual di Hong Kong. sumber: bbc.com

Ali juga mendokumentasikan betapa berbahayanya penggunaan pukat (trawl) dalam penangkapan ikan. Sampah plastik terbesar di lautan adalah sampah pukat bekas pakai, bukan sedotan atau kantong plastik sebagaimana banyak dikampanyekan. 

Sampah pukat memenuhi 46% dari seluruh sampah yang berada di lautan. Karena bentuknya jaring, sangat berbahaya bagi ikan. Sebagian besar ikan yang mati karena memakan plastik di lautan, di dalam perutnya berisi limbah dari industri ikan. 

Fakta bahwa limbah industri penangkapan ikan yang jauh lebih banyak dan lebih berbahaya hampir tidak pernah dikampanyekan oleh berbagai lembaga. 

Semua sibuk dengan kampanye plastik rumah tangga, terutama sedotan yang bahkan hanya 0.03% menjadi sampah di lautan. Kemudian, Ali melanjutkan investigasi aliran donasi yang diberikan untuk kampanye antiplastik. 

Dalam hal ini ia melakukannya terhadap donasi yang ditampung oleh lembaga Plastic Pollution Coalition. Ternyata, Plastic Pollution Coalition adalah bagian dari lembaga Earth Island, yang memberi label biru "dolphin save" pada produk tuna yang dijual oleh industri penangkap ikan. Kalau di sini, mungkin seperti label halal pada kemasan makanan yang dijual. 

Earth Island mendapatkan uang banyak sekali dari pemberian labl biru itu dari perusahan-perusahaan penangkap ikan. Sementara kapal-kapalnya menggunakan pukat raksasa yang juga membunuh sangat banyak lumba-lumba, hiu, paus, penyu saat menangkap tuna. 

Inilah penyebab mengapa lembaga yang getol mengkampanyekan anti plastik tidak pernah menyinggung bahaya penggunaan pukat dan limbah kapal penangkap ikan lainnya.  

sumber: instagram.com/seaspiracy
sumber: instagram.com/seaspiracy

Saat digunakan, pukat juga menimbulkan masalah yang sangat besar. Karena ukurannya yang raksasa, sekali jaring luar biasa banyak ikan yang terbunuh, baik yang menjadi target atau tidak. 

Hampir selalu ada lumba-lumba, hiu, paus, dan ikan lainnya yang terbunuh padahal yang dicari oleh kapal penangkap adalah tuna. Jaring yang super besar itu berisi ratusan ribu ikan, berat dan menyapu dasar lautan, merusak karang-karang yang ada di bawahnya. 

Percaya deh, kecepatan merusak karang dari pukat raksasa ini di dasar laut, jauh lebih cepat dari kecepatan penebangan hutan di Kalimantan, Sumatera, atau hutan hujan di Amazon.

Film dokumenter ini juga menampilkan fakta bahwa ada peran besar industri penangkapan ikan mengubah cara hidup nelayan Somalia yang diberitakan banyak membajak kapal. 

Hal itu terpaksa mereka lakukan karena ikan semakin sulit didapat oleh perahu mereka yang kecil, sementara sebagian besar ikan sudah dicuri oleh kapal-kapal besar dengan pukat raksasa mereka.

Masih ingat warga Indonesia yang menjadi budak dari sebuah kapal penangkap ikan di luar negeri? Ternyata perbudakan marak dilakukan oleh industri seafood ini. Tambak udang dan kapal-kapal penangkap ikan di Asia Tenggara banyak mempraktekkan perbudakan yang memperlakukan pekerja mereka secara tidak manusiawi. 

Di Thailand, banyak kru kapal yang dibunuh oleh bos-bos mereka. Mayat-mayat disimpan di ruang pendingin kapal atau dibuang ke laut. Ali dan tim bahkan harus mematikan kameranya dan segera meninggalkan tempat saat melakukan wawancara rahasia di Thailand Selatan, karena polisi sedang menuju ke lokasi mereka.

Kamera juga merekam pemandangan dramatis yang menyorot mata ikan paus pilot setelah disembelih dalam budaya "Grindadrap", berburu dan menyembelih paus di kepulauan Faroe, Atlantik Utara. 

Ratusan paus digiring ke pinggir pantai, disembelih, lalu air laut memerah. Untuk kedua kalinya, terlihat Ali mengusap air matanya di fim tersebut. Sebelumnya ia melakukannya saat melihat penyembelihan lumba-lumba di Taiji.  

Film ini memberikan penyadaran baru kepada saya, bahwa ternyata yang jauh lebih merusak adalah eksploitasi berlebihan industri penangkap ikan. Kerusakannya multidimensi: 

Kerusakan ekosistem, korupsi, perbudakan, kesehatan, dll. Menurut saya, bahkan lebih merusak daripada pembalakan liar di hutan. 

Setidaknya, pembalakan liar di hutan dilakukan di darat dan lebih mudah untuk dipantau. Kalau industri ikan dilakukan di tengah samudra, kerusakannya sampai ke dasar laut yang tertutup oleh air laut di permukaan.

Apa yang bisa dilakukan? Pesan dari film ini cukup sederhana: Berhenti makan ikan Laut!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun