Ali juga mendokumentasikan betapa berbahayanya penggunaan pukat (trawl) dalam penangkapan ikan. Sampah plastik terbesar di lautan adalah sampah pukat bekas pakai, bukan sedotan atau kantong plastik sebagaimana banyak dikampanyekan.Â
Sampah pukat memenuhi 46% dari seluruh sampah yang berada di lautan. Karena bentuknya jaring, sangat berbahaya bagi ikan. Sebagian besar ikan yang mati karena memakan plastik di lautan, di dalam perutnya berisi limbah dari industri ikan.Â
Fakta bahwa limbah industri penangkapan ikan yang jauh lebih banyak dan lebih berbahaya hampir tidak pernah dikampanyekan oleh berbagai lembaga.Â
Semua sibuk dengan kampanye plastik rumah tangga, terutama sedotan yang bahkan hanya 0.03% menjadi sampah di lautan. Kemudian, Ali melanjutkan investigasi aliran donasi yang diberikan untuk kampanye antiplastik.Â
Dalam hal ini ia melakukannya terhadap donasi yang ditampung oleh lembaga Plastic Pollution Coalition. Ternyata, Plastic Pollution Coalition adalah bagian dari lembaga Earth Island, yang memberi label biru "dolphin save" pada produk tuna yang dijual oleh industri penangkap ikan. Kalau di sini, mungkin seperti label halal pada kemasan makanan yang dijual.Â
Earth Island mendapatkan uang banyak sekali dari pemberian labl biru itu dari perusahan-perusahaan penangkap ikan. Sementara kapal-kapalnya menggunakan pukat raksasa yang juga membunuh sangat banyak lumba-lumba, hiu, paus, penyu saat menangkap tuna.Â
Inilah penyebab mengapa lembaga yang getol mengkampanyekan anti plastik tidak pernah menyinggung bahaya penggunaan pukat dan limbah kapal penangkap ikan lainnya. Â
Saat digunakan, pukat juga menimbulkan masalah yang sangat besar. Karena ukurannya yang raksasa, sekali jaring luar biasa banyak ikan yang terbunuh, baik yang menjadi target atau tidak.Â
Hampir selalu ada lumba-lumba, hiu, paus, dan ikan lainnya yang terbunuh padahal yang dicari oleh kapal penangkap adalah tuna. Jaring yang super besar itu berisi ratusan ribu ikan, berat dan menyapu dasar lautan, merusak karang-karang yang ada di bawahnya.Â