Mohon tunggu...
Wahyudi Sutopo
Wahyudi Sutopo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Meneliti dan mengajar

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Early Adopter untuk Percepatan Komersialisasi Kendaraan Listrik

6 Juli 2022   06:28 Diperbarui: 6 Juli 2022   06:41 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Elektrifikasi dengan berpindah dari penggunaan kendaraan konvensional (internal combustion engine) menjadi kendaraan listrik (electric vehicle) sangat mendukung program pemerintah dalam menurunkan emisi CO2 dan dapat mendorong tumbuhnya ekonomi hijau (green economy).  

Teknologi kendaraan listrik merupakan salah satu contoh teknologi hijau (green technology), sebagai contoh teknologi sepeda motor listrik, dapat menjadi penggerak utama untuk menurunkan emisi CO2 sekaligus menumbuhkan entitas bisnis baru yang dapat meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan.  

Berdasarkan riset yang telah dilakukan oleh RITE (Rekayasa Industri dan Tekno Ekonomi) Universitas Sebelas Maret pada tahun 2021 - 2022, ditunjukkan bahwa nilai TCO (Total Cost of Ownership) sebuah sepeda motor listrik yang dikenal sebagai Total Biaya Kepemilikan dari menunjukkan nilai yang jauh lebih rendah. Hal tersebut ditunjukkan dari persentase besarnya penghematan nilai TCO dari sepeda motor listrik sebesar 51% dan penghematan pada operasionalnya yang mencapai 89%. 

Angka tersebut dihitung dari perbandingan rata-rata total biaya antara 3 top brand sepeda motor ICE (Internal Combustion Engine) dengan 3 top brand sepeda motor listrik dengan spesifikasi yang sebanding. Spesifikasi pembanding yang dimaksud seperti perbandingan jenis kendaraannya (jenis scooter), ukuran suspensi depan dan belakang, ukuran vleg, ukuran ban, dan ukuran panjang kali lebar dari badan sepeda motor.

Meskipun analisis TCO sepeda motor listrik ini telah menunjukkan adanya keuntungan dari segi biaya, nyatanya kecepatan adopsi dari sepeda motor listrik di Indonesia masih sangat lambat. Hal ini ditunjukkan dari jumlah sepeda motor listrik yang ada di Indonesia yaitu sebesar 12.464 unit berdasarkan data Kementrian Perhubungan tahun 2021. 

Angka tersebut hanya mencapai 0,62% dari target pemerintah yaitu sebanyak 2,1 juta unit sepeda motor listrik yang turun ke jalan pada tahun 2025. Selain itu, angka tersebut juga tidak sebanding dengan jumlah produsen sepeda motor listrik di Indonesia, yaitu sebanyak 26 produsen dengan merek berbeda dan kapasitas produksi sebesar 1,04 juta unit/ tahun berdasarkan Data Kemenperin 2022.

Berdasarkan Everett Rogers dalam bukunya “The Diffusion of Innovations”, ada lima kelompok adopter yang memiliki pengaruh kuat terhadap cepat atau tidaknya suatu inovasi diadopsi. 

Untuk mengkomersialkan sebuah produk berdasarkan konsep ini dapat mengikuti arah kurva dari kiri ke kanan, dengan fokus pertama pada innovator, kemudian beralih ke pengadopsi awal (early adopter), dan beralih ke mayoritas awal (early majority), demikian seterusnya. Namun apabila diamati, diantara kelompok adopter tersebut terdapat “chasm” atau jurang yang menjadi hambatan maupun tantangan sebuah inovasi produk tersebut diadopsi oleh konsumen atau masyarakat. Dimana, jurang pertama dan terbesar yang dihadapi terdapat pada peralihan dari innovator menuju early adopter. 

Sosok Early Adopter dan Penghambatnya

Early adopter sendiri memiliki peranan yang cukup penting terhadap keberlangsungan proses adopsi teknologi. Mereka adalah sekelompok orang yang berani mengambil risiko ketika produk baru dimunculkan. Secara tidak langsung, mereka akan mengevaluasi dan memberikan feedback kepada produsen terkait inovasi atau kekurangan dari produk yang dipakai. Tidak hanya itu, mereka juga memiliki peran besar menjadi trend center yang menginfluence orang sekitarnya untuk ikut menggunakan produk tersebut.

Dalam kasus sepeda motor listrik ini, sosok early adopter sendiri dapat terdiri dari orang-orang yang mencintai teknologi, mencintai produsen, mencintai sustainable product, hingga orang-orang yang ingin berkontribusi dalam percepatan komersialisasi kendaraan listrik ini. Namun, rendahya tingkat adopsi di Indonesia, bisa jadi disebabkan oleh early adopter yang masih merasa terhambat oleh adanya jurang yang disebabkan berbagai hal yang ada. Padahal, para entitas di Indonesia telah bersinergi untuk menciptakan inovasi dan menciptakan skenario untuk menjawab keraguan tersebut.

Pertama, keraguan terhadap spesifikasi teknologi yang telah dijawab melalui Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 44 tahun 2020 tentang Pengujian Tipe Fisik Kendaraan Bermotor dengan Motor Penggerak menggunakan Motor Listrik. Keraguan terhadap spesifikasi teknologi yang dimaksud yaitu terkait performance (dari sisi kinerja, kecepatan, dan daya tempuh yang tidak sebaik sepeda motor ICE); safety (ketakutan terhadap keamanan baterai yang mungkin terbakar), serta comfortable (keraguan beralih karena terlalu nyaman dengan penggunaan sepeda motor ICE). 

Selain itu, Badan Standardisasi Nasional (BSN) juga telah mengeluarkan beberapa rujukan Standar Nasional Indonesia (SNI) terkait komponen maupun sistem kendaraan yang dapat menjadi rujukan  para pemanufaktur untuk memproduksi sepeda motor listrik dan sekaligus melindungi konsumen, antara lain SNI ISO 6469 (Bagian 1-4) tentang kendaraan jalan yang digerakkan listrik – spesifikasi keselamatan dan SNI baterai lepas yakni SNI 8927:2020 Sistem Baterai Kendaraan Bermotor Listrik Kategori L – Persyaratan Keselamatan Sistem Baterai yang dapat dilepas dan ditukar (removable and swappable battery system).

Semua ketakutan tersebut telah berhasil terjawab oleh uji persyaratan teknis, laik, dan tipe fisik sesuai peraturan yang telah disebutkan sebelumnya. Pengujian tipe fisik ini dapat berupa uji akumulator listrik, alat pengisian ulang energi listrik, perlindungan sentuh listrik, keselamatan fungsional, dan emisi hidrogen. Selain itu, dibuktikan juga dengan adanya 26 merk yang siap masuk ke pasar, diantaranya Volta, Viar, Gesits, Kymco, dan Selis. Sehingga, konsumen smart pastinya bisa menentukan pilihan khususnya merk dengan performance sesuai yang diinginkan. 

Selain itu, beberapa merk juga menawarkan inovasi kapasitas dua baterai, sehingga membuat sepeda motor listrik tersebut memiliki daya tempuh menjadi dua kali lipat dari biasanya.

Kedua, keraguan terhadap ketersediaan infrastruktur telah dijawab melalui peraturan menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Peratura telah mengatur ‘penyediaan infrastruktur pengisian listrik untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai’ antara lain penyediaan, proses perizinan, tarif tenaga listrik, dan skema usaha infrastruktur charging station. Infrastruktur charging station dalam peraturan ini terdiri dari SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) dan SPBKLU (Stasiun Penggantian Baterai Kendaraan Listrik Umum).

Dalam penyediaan infrastruktur, salah satunya dilaksanakan melalui penugasan kepada PT PLN (Persero) yang bekerja sama dengan pihak swasta. Hal tersebut menciptakan sebuah peluang bisnis baru dan menyediakan kemitraan yang cukup menguntungkan. Adanya peraturan menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020 tersebut, juga mendorong beberapa perusahaan menyediakan infrastruktur charging station secara mandiri. Seperti Volta dengan SGB (Sistem Ganti Baterai), Smoot dengan Swap Poin (Tempat Penukaran Baterai), dan sebagainya. Sehingga hal tersebut mempercepat persebaran ketersediaan infrastruktur stasiun pengisian sepeda motor listrik di Indonesia dan menjawab keraguan yang ada.

Selain itu, SPKLU juga menawarkan sistem fast charging (pengisian cepat) dengan daya lebih besar antara kisaran 25 kW hingga 150 Kw, sehingga lama pengisian hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit dibandingkan di rumah atau tempat pengisian biasa dengan pengisian normal. Sedangkan SPBKLU hanya memerlukan waktu sekitar 3-5 menit untuk melakukan proses penukaran, namun tentunya perlu diimbangi dengan baterai yang tersedia sesuai permintaan dan status pengisian baterai harus tetap dalam kisaran yang cocok dalam masa pakai baterai yang lama.

Ketiga, keraguan terhadap harga jual dan insentif yang ditawarkan dibuktikan dari adanya beberapa insentif yang telah dijalankan. Dibuktikan oleh adanya perbandingan pajak antara sepeda motor listrik dengan sepeda motor ICE. Selain itu, beberapa motor listrik juga telah tersedia di online market place. Sehingga, harga jual yang ditawarkan oleh produsen tentunya cukup bersaing dan telah dipertimbangkan berdasarkan minat konsumen. 

Beberapa insentif yang mulai dijalankan pemerintah tersebut memiliki potensi untuk meningkatkan penghematan nilai TCO pada sepeda motor listrik ini. Insentif tersebut terdiri dari pembebasan atau pengurangan pajak pusat dan daerah, diskon biaya pengisian di stasiun pengisian, diskon biaya listrik di rumah pada waktu tertentu, hingga pembebasan parkir di beberapa titik. Beberapa insentif lainnya juga tengah dikaji dan diusulkan untuk membuat sepeda motor listrik ini semakin unggul. Selain itu, beberapa lembaga pembiayaan juga memberikan dukungan terkait konsumen yang ingin melakukan sistem pembayaran melalui kredit, seperti Adira Finance.

Solusi Menghadapi Jurang

Dari paparan di atas, jurang yang disebabkan oleh berbagai keraguan yang ada telah terjawab. Dari sisi produsen, jurang tersebut telah terjawab dengan dikeluarkannya berbagai peraturan dari pemerintah. Kemudian, pemanufaktur juga telah melakukan pilot project dan test drive. Sehingga, konsumen dapat merasakan manfaat kendaraan listrik tanpa ragu atas berbagai persoalan yang dikhawatirkan terjadi. Namun apabila keraguan tersebut ternyata belum terjawab dalam sisi teknologi, produk tersebut perlu dilakukan adaptasi. Konsumen yang smart dapat merujuk melalui literasi ilmiah secara langsung ataupun melihat influencer menjadi hal yang sangat perlu dilakukan.

Maka, jadilah bagian dari early adopters yang memiliki banyak manfaat. Mulai dari kontribusi menjadi pengguna sustainable product untuk turut serta mengurangi emisi dalam negeri hingga menjadi pemberi feedback untuk pengembangan inovasi teknologi dari kendaraan listrik selanjutnya. 

Selain itu, menjadi early adopters juga dapat menjadikan kita trend center yang mengendorse produk kendaraan listrik ini, sehingga berpotensi mempercepat arus kelompok early adopters menuju early majority yang semakin luas. Sehingga, harapan pembuat kebijakan untuk beralih dari kendaraan ICE menuju kendaraan listrik yang mendukung terbentuknya green economy melalui green technology dapat dilakukan dengan baik. Semoga dengan sempitnya jurang early adopter ini dapat menurunkan total biaya adopsi kendaraan listrik.

Penulis:

Prof. Dr. Wahyudi Sutopo, S. T., M. Si., IPM, Kadiv Hubungan Industri dan Komersialisasi PUI Baterai Lithium UNS

Sayyidah Maulidatul Afraah, S. T, Mahasiswa Magister Teknik Industri UNS/ Asisten Peneliti PUI Baterai Lithium UNS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun