Oligarki pada Sektor Perkebunan Sawit Indonesia
Oligarki (Yunani: oligarkhia) adalah sebuah bentuk struktur kekuasaan yang berada ditangan segelintir orang. Mereka bisa berasal dari keluarga, kelompok politik dan ekonomi yang saling berhubungan satu sama lain atas dasar kepentingan ekonomi politik. Tujuannya adalah mengontrol dan menentukan kebijakan publik guna memperbesar pengaruh maupun keuntungan finansial sendiri. Sepanjang sejarah oligarki sering bersifat tirani, mengandalkan kepatuhan atau penindasan terhadap publik untuk exist.
Kapitalisme kroni adalah kata kunci dugaan praktek oligarki. Dalam kajian ekonomi politik, ini adalah istilah bagi kesuksesan bisnis yang bergantung pada hubungan dekat antara pebisnis dengan pejabat pemerintah. Kapitalisme kroni dapat diamati dari tindakan pilih-pilih saat mengeluarkan izin operasi, potongan pajak khusus, dan intervensi pemerintah lainnya. Faisal Basri (2019) mengutip data The Economist, Indonesia berada di peringkat ketujuh dalam The Crony-capitalism Index pada 2016.
Salah satu indikator paling mudah melihat oligarki di Indonesia adalah dengan melihat konsentrasi kekayaan dan penguasaan sumber daya modal pada segelintir orang tertentu. Juga kelompok elit politik yang menguasai pos dan sumber kekuasaan dalam kelembagaan politik formal negara termasuk partai politik yang berkuasa.
Data kajian KPK pada tahun 2017 menyebutkan lebih dari 70% kepala daerah dalam pilkada didukung pendanaan oleh korporasi berbasis sumber daya alam, terutama sektor pertambangan dan perkebunan, dengan kompensasi utama kemudahan izin atau konsesi. Ironisnya keberlanjutan praktek "kongkalingkong" ini masih kurang mendukung peningkatan kesejahtaraan bagi masyarakat lokal dan preservasi lingkungan. Bahkan Bank Dunia pada tahun 2018 menyebutkan 80% lebih lahan sawit Indonesia bermasalah, antara lain tidak menyediakan 20% plasma untuk rakyat dan tak memperhatikan lingkungan hidup.
Kontribusi Sektor Perkebunan dan Industri Sawit terhadap Perekonomian Indonesia
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrahman dalam pembukaan acara 'Sosialisasi Dampak Penerapan Tarif Layanan BLU BPDPKS Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan' di Kuta Bali pada 30/8/2022 menyampaikan bahwa komoditas kelapa sawit memberikan sumbangan devisa terhadap negara sangat besar, rata-rata pertahun US$ 22-23 miliar. Bahkan ditahun 2021, devisa yang dihasilkan dari ekspor komoditas kelapa sawit mencapai US$ 30 miliar, rekor tertinggi selama ini. Dari sisi penerimaan pajak industri kelapa sawit juga memberikan sumbangan pemasukan kepada negara yang berasal dari Pajak Penghasilan (PPH) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Keluar (BK) atau biasa dikenal dengan Pajak Ekspor (PE) sebesar Rp 20-40 triliun.
Berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA), produsen minyak sawit terbesar dunia adalah Indonesia dan Malaysia. USDA memproyeksikan pada periode tahun 2022/2023 produksi CPO Indonesia bisa mencapai 45,5 juta metrik ton (MT), dan Malaysia 18,8 juta MT.
Lebih lanjut Eddy Abdurrahman menyampaikan bahwa selain sebagai penyumbang devisa, sawit juga membuka lapangan kerja bagi 16 juta orang secara langsung. Industri kelapa sawit juga melibatkan lebih dari 2,4 juta petani atau pekebun (smallholders) yang berkecimpung langsung, dan 6 juta orang yang bekerja secara tidak langsung