Menyusuri desa-desa di Jawa, entah itu di pesisir, baik utara maupun selatan, atau di pedalaman, kita akan menjumpai masyarakat yang tidak lepas dari nilai-nilai religius dalam setiap kegiatannya. Jajah desa melankori akan menjadi asyik karena setiap desa memiliki caranya sendiri dalam mengekspresikannya. Meski kadarnya belum bisa dikatakan berbeda. Namun inilah yang akan memperkaya khasanah. Tidak perlu repot mengategorikan kegiatan-kegiatan masyarakat itu masuk wilayah mana: sosial, budaya atau agama. Karena semuanya menyatu. Melebur. Salah satu kegiatan masyarakat itu adalah ritual nyadran.
Setidaknya ritual inilah yang masih ada di desaku selain merti desa.
Nyadran atau sadranan merupakan ritual rutin tahunan untuk menyambut bulan Ramadhan. Bagi masyarakat Jawa, bulan Ramadhan atau sasi Poso bukanlah sekadar bilangan waktu. Betul bahwa bulan tersebut sangat dinanti-nanti kedatangannya. Karena berjumpa dengan Ramadhan sama halnya berjumpa dengan kekasih. Maka tidak heran jika seseorang telah melihat bulan baru, hal itu dianggap sebagai penawar rindu. Marhaban ya Ramadhan, begitu salam yang terucap untuk menyambut kedatangan bulan itu.
Selamat datang ya Ramadhan, ucapku lirih bahkan berulang-ulang. Rinduku seperti menemukan sebuah oase di tengah gurun. Perlu diketahui, tak satu kali pun aku pernah ke gurun.
Nyadran diselenggarakan pada bulan sebelum bulan Ramadhan, tepatnya pertengahan bulan Sya’ban atau dalam penanggalan jawa disebut Ruwah. Ruwah sendiri biasa diartikan dengan arwah. Sebagaimana waktunya, nyadran merupakan ritual untuk menghormati arwah para leluhur. Baik leluhur generasi awal pendirian wilayah desa, maupun generasi-generasi setelahnya. Dalam perspektif agama, hal tersebut dimaknai sebagai dua manifestasi ajaran. Yang pertama adalah seseorang perlu mengingat mati, sehingga tidak menyia-nyiakan hidupnya dan tetap menjaga sikap dan batin secara lurus. Dan yang kedua adalah upaya menjadi keturunan yang saleh dengan menjaga nilai-nilai yang dibangun leluhurnya dengan berpegang Qur’an dan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Bagiku nyadran akan menjadi alat yang berguna untuk mengejar keinginanku. Yakni menjadi orang yang senantiasa mengingat mati dan menjadi anak yang saleh. Semua orang tahu, dua hal itu selalu saja berbelok arah sebelum menemukan jalurnya kembali.
Prosesi nyadran diawali dengan membersihkan tanah makam oleh seluruh warga desa secara gotong royong. Jalan menuju tanah makam juga turut dibersihkan. Sekaligus parit-parit yang mengiringnya. Setelah dirasa cukup, warga kemudian beriringan menuju tanah makam dengan membawa aneka makanan dan jajanan pasar. Makanan dan jajanan pasar itu ditempatkan di tampah, sebuah tempat yang terbuat dari anyaman bambu. Agar warga bisa duduk dengan nyaman, kami menggelar tikar di tanah yang agak lapang. Kami mengelilingi makanan dan jajanan pasar itu. Prosesi dilanjutkan dengan doa bersama. Doa dipimpin oleh salah satu tetua desa. Menghaturkan rasa syukur atas karunia hidup dan memohon ampunan kepada Gusti Allah Swt bagi leluhur-leluhur kami. Baru setelah itu kami makan bersama.
Di beberapa tempat, prosesi makan bersama dilakukan di serambi masjid. Dari rumah-rumah penduduk, warga membawa makanan dan jajanan pasar untuk dimakan bersama-sama. Sebuah bentuk rasa syukur atas karunia hidup dan menjaga kebersamaan antar waris.
Nyadran bukanlah ziarah kubur biasa. Nyadran memerlukan keterlibatan aktif dari warga desa. Meluangkan waktu dan memberikan tenaganya untuk bisa bergotong royong membersihkan tanah makam dan jalan-jalan yang menuju kesana. Bukan saja warga yang berdiam di desa itu saja, bahkan mereka yang merantau tidak terlalu jauh dari kampung halamannya pun menyediakan waktunya untuk pulang sehari dua hari untuk terlibat dalam prosesi nyadran. Mereka yang jauh, biasanya meminta pemakluman keluarga dan teman-temannya di kampung bahwa mereka tidak bisa terlibat dalam prosesi nyadran dengan memberi titipan uang untuk diteruskan ke kas masjid.
Selain nyadran di makam desa tempatku tinggal, aku juga nyadran ke tanah makam leluhur ayah dan ibuku yang kebetulan berlainan daerah.
Gambaran di atas menunjukan bagaimana nyadran bisa menjadi alat penghormatan kepada leluhur. Para leluhur itu, dahulu kala bisa jadi cantrik-cantrik yang ditugaskan para wali untuk menyebarkan agama Islam. Atau pasukan pengikut Pangeran Diponegoro yang dikejar tentara Belanda. Bahkan boleh jadi gerombolan perampok yang memutuskan bertobat dan menemukan sebuah tempat untuk menetap dan hidup secara layak.
Di tanah baru itu mereka bukan saja membangun rumah-rumah bagi mereka saja, namun juga langgar atau masjid yang nanti akan digunakan bukan sekadar ibadah, namun juga sebagai tempat pertemuan warga. Bukan hanya itu saja, mereka juga membangun sebuah astana atau tanah makam, dimana mereka dan anak cucu mereka nanti akan dikuburkan. Sebuah gagasan pemukiman yang tidak dilakukan oleh pengembang-pengembang perumahan modern.
Yang menjadi menarik adalah mereka ternyata bukan mendirikan bangunan fisik saja, namun juga membangun sebuah masyarakat berikut nilai-nilai yang dianutnya. Norma masyarakat dan kearifan lokal sengaja atau tidak sengaja akan menuntun bagaimana seseorang menjalani dan menyikapi hidup bersama dengan masyarakat lain dan lingkungan tempat mereka tinggal. Termasuk bagaimana seseorang berlaku kepada leluhurnya. Kepada orang tua yang telah meninggalkannya.
Hari-hari menjelang Ramadhan, kita bisa menyaksikan bagaimana masyarakat menunjukkan bakti kepada orang tua mereka melalui nyadran. Marhaban ya Ramadhan. [Telkomsel Ramadhanku]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H