Mohon tunggu...
Wahyu Dewanto
Wahyu Dewanto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Anggota komunitas angkringan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nyadran

21 Juli 2011   13:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:30 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menyusuri desa-desa di Jawa, entah itu di pesisir, baik utara maupun selatan, atau di pedalaman, kita akan menjumpai masyarakat yang tidak lepas dari nilai-nilai religius dalam setiap kegiatannya. Jajah desa melankori akan menjadi asyik karena setiap desa memiliki caranya sendiri dalam mengekspresikannya. Meski kadarnya belum bisa dikatakan berbeda. Namun inilah yang akan memperkaya khasanah. Tidak perlu repot mengategorikan kegiatan-kegiatan masyarakat itu masuk wilayah mana: sosial, budaya atau agama. Karena semuanya menyatu. Melebur. Salah satu kegiatan masyarakat itu adalah ritual nyadran.

Setidaknya ritual inilah yang masih ada di desaku selain merti desa.

Nyadran atau sadranan merupakan ritual rutin tahunan untuk menyambut bulan Ramadhan. Bagi masyarakat Jawa, bulan Ramadhan atau sasi Poso bukanlah sekadar bilangan waktu. Betul bahwa bulan tersebut sangat dinanti-nanti kedatangannya. Karena berjumpa dengan Ramadhan sama halnya berjumpa dengan kekasih. Maka tidak heran jika seseorang telah melihat bulan baru, hal itu dianggap sebagai penawar rindu. Marhaban ya Ramadhan, begitu salam yang terucap untuk menyambut kedatangan bulan itu.

Selamat datang ya Ramadhan, ucapku lirih bahkan berulang-ulang. Rinduku seperti menemukan sebuah oase di tengah gurun. Perlu diketahui, tak satu kali pun aku pernah ke gurun.

Nyadran diselenggarakan pada bulan sebelum bulan Ramadhan, tepatnya pertengahan bulan Sya’ban atau dalam penanggalan jawa disebut Ruwah. Ruwah sendiri biasa diartikan dengan arwah. Sebagaimana waktunya,  nyadran merupakan ritual untuk menghormati arwah para leluhur. Baik leluhur generasi awal pendirian wilayah desa, maupun generasi-generasi setelahnya. Dalam perspektif agama, hal tersebut dimaknai sebagai dua manifestasi ajaran. Yang pertama adalah seseorang perlu mengingat mati, sehingga tidak menyia-nyiakan hidupnya dan tetap menjaga sikap dan batin secara lurus. Dan yang kedua adalah upaya menjadi keturunan yang saleh dengan menjaga nilai-nilai yang dibangun leluhurnya dengan berpegang Qur’an dan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Bagiku nyadran akan menjadi alat yang berguna untuk mengejar keinginanku. Yakni menjadi orang yang senantiasa mengingat mati dan menjadi anak yang saleh. Semua orang tahu, dua hal itu selalu saja berbelok arah sebelum menemukan jalurnya kembali.

Prosesi nyadran diawali dengan membersihkan tanah makam oleh seluruh warga desa secara gotong royong. Jalan menuju tanah makam juga turut dibersihkan. Sekaligus parit-parit yang mengiringnya. Setelah dirasa cukup, warga kemudian beriringan menuju tanah makam dengan membawa aneka makanan dan jajanan pasar. Makanan dan jajanan pasar itu ditempatkan di tampah, sebuah tempat yang terbuat dari anyaman bambu. Agar warga bisa duduk dengan nyaman, kami menggelar tikar di tanah yang agak lapang. Kami mengelilingi makanan dan jajanan pasar itu. Prosesi dilanjutkan dengan doa bersama. Doa dipimpin oleh salah satu tetua desa. Menghaturkan rasa syukur atas karunia hidup dan memohon ampunan kepada Gusti Allah Swt bagi  leluhur-leluhur kami. Baru setelah itu kami makan bersama.

Di beberapa tempat, prosesi makan bersama dilakukan di serambi masjid. Dari rumah-rumah penduduk, warga membawa makanan dan jajanan pasar untuk dimakan bersama-sama. Sebuah bentuk rasa syukur atas karunia hidup dan menjaga kebersamaan antar waris.

Nyadran bukanlah ziarah kubur biasa. Nyadran memerlukan keterlibatan aktif dari warga desa. Meluangkan waktu dan memberikan tenaganya untuk bisa bergotong royong membersihkan tanah makam dan jalan-jalan yang menuju kesana. Bukan saja warga yang berdiam di desa itu saja, bahkan mereka yang merantau tidak terlalu jauh dari kampung halamannya pun menyediakan waktunya untuk pulang sehari dua hari untuk terlibat dalam prosesi nyadran. Mereka yang jauh, biasanya meminta pemakluman keluarga dan teman-temannya di kampung bahwa mereka tidak bisa terlibat dalam prosesi nyadran dengan memberi titipan uang untuk diteruskan ke kas masjid.

Selain nyadran di makam desa tempatku tinggal, aku juga nyadran ke tanah makam leluhur ayah dan ibuku yang kebetulan berlainan daerah.

Gambaran di atas menunjukan bagaimana nyadran bisa menjadi alat penghormatan kepada leluhur. Para leluhur itu, dahulu kala bisa jadi cantrik-cantrik yang ditugaskan para wali untuk menyebarkan agama Islam. Atau pasukan pengikut Pangeran Diponegoro yang dikejar tentara Belanda. Bahkan boleh jadi gerombolan perampok yang memutuskan bertobat dan menemukan sebuah tempat untuk menetap dan hidup secara layak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun